Tuesday, August 28, 2007

BIDADARI LUAR BIASA

Azzam syahidah

I

BIDADARI SURGAKU

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa


“Ayo Bu Rini, tarik nafasnya, keluarkan. Iya, pintar. Sabar ya Bu, ayo nafasnya diatur kembali. Ayo sayang, lihat kepalanya sudah mau keluar.” Ibu itu tampak bersusah payah mengatur nafasnya. Ia sudah begitu kelelahan. Aku kembali membujuknya, “tinggal sedikit lagi.” Ibu muda ini sepertinya salah mengedan. Tinggal sedikit lagi, dan bila ibu ini mengedan dengan baik maka APN (Asuhan Persalinan Normal) yang kulakukan berjalan sukses, tanpa perlu episiotomi. Suaminya tampak pucat, maklum anak pertama. Dibisikkannya doa di telinga istrinya, Bismillah. Uterusnya kembali mengencang, rupanya mulas itu kembali hadir. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ibu itu menuruti setiap arahan yang kuberikan. Perlahan namun pasti, kerniq itu terjadi, kepala bayi itu keluar dan mulai memutar. Dalam hitungan detik, kulahirkan bahunya, Alhamdulillah... Suara tangisannya mulai terdengar. Kuletakkan bayi itu diatas perut ibu yang dialasi planel biru muda bergambar kotak. Kuklem tali pusarnya, dan kugunting, sekarang tinggal melahirkan plasentanya. Sekilas kulihat wajah bu Rini, lelah itu seolah sirna. Senyuman mengembang menghiasi wajahnya yang masih bersimbah keringat. Air mata pun mengalir membasahi kedua pipinya. Aku pun tak kuasa menahan haru, ini pasien partus pertamaku.

Subhanallah. Dan lembaran-lembaran kenangan bersama ibu hadir dibenakku. Teringat, kata ibu aku lahir premature dengan APGAR 4 dan proses persalinan sungsang yang menyebabkan beberapa komplikasi. Wajah yang tak berbentuk, lebih mirip “anak monyet” dengan berat hanya 1800 ons di sebuah kampung di Sumedang. Yang pastinya jauh dari fasilitas incubator. Hingga akhirnya hanya ditemani dua buah petromak yang menghangatkan tubuh mungilku dan berbekas mehong (sisa abu hitam) yang menghiasi wajahku tiap paginya. Dengan tangisan yang irit, dan sistem pencernaan yang belum sempurna. Namun itu tak melemahkan semangatnya untuk menerima kondisiku apa adanya, dengan berbagai kekurangan yang ada meski plus tangisan yang kerap hadir. Ia membesarkanku dalam kesabaran, hingga hari ini aku masih berdiri disini.

Dan episode kehidupan terus berjalan, menorehkan sejarah tentang aku dan ibu. Mengajarkan arti cinta, mengenalkan tentang kasih sayang Ilahi dan berjuta makna lainnya. Masa-masa sekolahku ibu sangat protektif, mungkin karena rasa sayangnya yang kerap membuatku sulit beraktivitas. Terlebih aku masih anak nakal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Meski tetap hanif untuk tidak berpacaran. Hidayah itu hadir saat aku mulai mengenakan jilbab, meski dengan niat yang belum juga lurus. Kayanya lucu deh kalau pake jilbab. Namun ternyata hidayah itu menular, ibu yang masih dengan gaya gaulnya perlahan mulai melirik kerudung untuk menutup auratnya. Belum rapi memang, but better.

Dunia kemudian seolah berputar 180 derajat saat aku mulai kuliah. Cita-cita ibu akhirnya tercapai juga, cita-citaku yu…dadah deh. Ga bakal direstui masuk seni rupa ITB, padahal mungkin aku jadi kenal Aming dan masuk Extravaganza (hehe… Ga kebayang deh). Alhamdulillah lingkungan baruku mengajarkan banyak hal. Sepertinya sejak awal aku sudah dijadikan target utama dakwah fardiyah teman-teman yang lebih dahulu faham. Ge-er gini, habis kemana-mana pasti ditempel dan didoktrin berbagai hal. Alhamdulillah mereka berhasil….

Terlebih saat itu dideklarasikan sebuah partai Islam baru, dan juga kondisi aksi mahasiswa yang marak untuk menurunkan rezim orde baru. Semua melahirkan semangat baru dalam diriku, semangat untuk berjuang dan mengenal dakwah. Aku pun mulai mengenakan jilbab panjang, meski belum istiqomah. “Kaya kerekan bendera,” kata seorang akhwat (kadang naik kadang turun), ikhwah terkadang mengejutkan. Huuh kesel juga kadang, aku kan masih belajar, but akhirnya aku mengerti tentang pentingnya istiqomah. Dan ibu perlahan meninggalkan kerudungnya, ia mulai memakai jilbab, menutupi lehernya meski belum juga rapi. Ibu bingung, kenapa pake jilbab dobel-dobel katanya, belum lagi bingung dengan perubahanku; nasyid serta doktrin yang keluar dari lisanku. Maklum aktivis baru. Hehe. (Ngakunya sih akhtipis padahal…).

Waktu terus berjalan, aku semakin tertarik pada dakwah dan mulai mencintainya. Jadilah aku akhwat yang sering pulang malam (dulu belum ada larangan pulang malam untuk akhwat…. Tapi meski sekarang pun ada… Tetep aja nakal). Pulang malam karena berbagai alasan, dan sedikit banyak itu mulai mengurangi waktuku bersama ibu. Dan tak satupun larangan dari ibu. Berbagai daurah, mabit, dan mukhayam pun ku ikuti. Ibu hanya berbekal tsiqoh padaku. Semua berlalu begitu cepat, dalam aktivitas yang seolah tak menyisakan waktu untukku menghela nafas atau sekedar beristirahat sejenak. Aku selalu pulang dengan energi sisa, rumah seringkali hanyalah persinggahan tidurku. Komunikasi pun berjalan sangat minim. Yang ada hanyalah rasa lelah. Masya Allah.

Hingga sebuah pertanyaan muncul dari ibuku. “Kenapa begitu sibuk membina orang lain sementara tak kau bina keluargamu? Tolong ajari ibu.” Pertanyaan yang menohokku begitu dalam. Teringat sikap kerasku dan penyampaianku yang terkadang melupakan bahwa aku berhadapan dengan ibuku. Perlahan aku mulai mengajak ibu dalam aktivitasku. Meski dengan waktu yang tersisa. Ibu kembali bertanya “Teh, Yahudi itu siapa? Kenapa kita harus memusuhinya? Kalau Teteh termasuk golongan apa? Kata ustadz diceramah tadi, katanya umat Islam dibagi menjadi 77 golongan dan hanya satu golongan yang benar. Gimana? Mama ikut Teteh aja ya?” Aku terdiam, speechless. Ada banyak hal yang harus disampaikan. Tapi kapan? Hari ini rapat, besok daurah, besoknya lagi pembuatan grand design.

Namun hidayah Allah hadir pada siapapun yang dikehendakiNya. Malam-malam itikaf beberapa tahun ini jadi aktivitas rutinku. Selalu menyenangkan berada disana. Dulu ibu alergi tidur di masjid, dengan berbagai alasan. Dingin, takut rematik kambuh, gatal-gatal. Namun perlahan ibu menyambut ajakanku, meski berbekal bantal besar, selimut, makanan, hingga rasanya kalau ga malu kasur pun akan dibawa. Tapi tak masalah, yang penting ibu bisa merasakan perasaan yang sama. Ada kebanggaan saat ibuku berkata “Mama kuat berdiri. Kemaren mah duduk, abis pegel. Malam ini Alhamdulillah kuat.” Bersyukur pula aku punya teman-teman yang dekat dengan ibuku, hingga tidak canggung baginya berada dalam lingkungan baru. Terkadang, aku malu sendiri. Melihat semangat yang terpancar diwajahnya, mendengar ceramah ustadz, menanyakan banyak hal dan menangis dalam sujud panjangnya. Rasanya aku masih kalah besar.

Ibu mulai senang menghafal surat-surat pendek juz amma. Seringkali aku dipanggilnya untuk sekedar muraja’ah. Aku merenung dalam hati kecilku, betapa banyak waktu yang ku habiskan untuk memikirkan agar binaanku menyenangi menghafal al-Qur’an dengan berbagai keutamaanya. Namun berapa banyak aku menghidupkan keutamaan itu dirumahku? Atau aku hanya egois dengan menjadikan diriku sendiri yang merasakan kenikmatan berinteraksi bersama al-Qur’an? Entahlah, rasanya ada berbagai hal yang harus kurenungi.

Ibu paling tahu aktivitasku, tentang kesenanganku berinteraksi dengan anak-anak sekolah. Tentang sifat-sifatku, buruk, dan baikku. Dan aku sangat terbuka mengenalkan semua itu pada ibu. Terkadang, tak pernah terlintas dalam benak kita bahwa keluarga kita adalah simpatisan dan kader dakwah yang andal. Pemilu kemarin, berbekal kestiqohan ibuku mendirect selling teman-temannya dan mereka menargetkan sepuluh orang setiap harinya dan menghasilkan 200 simpatisan setiap bulannya. Subhanallah, ternyata energi tsiqoh begitu besar. Dan aku mengerti, ibuku perlu pembinaan yang jauh lebih baik.

Sungguh, ada banyak hikmah yang bisa kuambil. Tentang kekuatan yang hadir, dan energi ketsiqohan. Dan kuingin berbagi dengan sahabat-sahabatku yang kusayangi. Seringkali, cita-cita keluarga Islami yang memenuhi benak kita adalah saat kita berumah tangga, menikahi seorang akhwat atau ikhwan aktivis yang memiliki visi dan misi perjuangan yang sama. Membina keluarga hafidz, lewat jundi-jundi yang diajarkan mengenal al-Qur’an sejak dini. Membangun basis dakwah saat kita membina keluarga kita sendiri. Kita sering lupa, bahwa cita-cita itu harus diwujudkan sejak kita masih menjadi seorang anak. Saat kita berada didalam rumah, dalam kepemimpinan ayah dan kasih sayang ibu, dan berbagai perbedaan antara kita dan saudara-saudara kita, kakak, adik, tante, om, dan civitas keluarga kita.

Entah apakah kita pernah memikirkan grand design dakwah dikeluarga kita. Atau sekedar mensyurokannya dengan hati kita maupun dengan saudara yang sefaham dengan kita. Keluarga kita sering kali hanyalah mendapatkan energi sisa kita. Padahal, bukankah ini adalah amanah kita untuk menjaga keluarga kita dari menjadi bahan bakar api neraka? Kita sering kali lalai ada seorang bidadari surga yang menanti pembinaan kita, menanti diskusi-diskusi bersama kita, dan muraja’ah hafalan, meski kerap terbata-bata. Kita seringkali lupa untuk sekedar mengucapkan sayang padanya atau meminta maafnya. Padahal tadhiyahnya begitu besar, kasih sayang, maal, pengertian, dukungan, dan doa-doanya takkan pernah terbalaskan, meski kita memberikan dunia. Ibu tak pernah protes meski seringkali kita mengabaikan hak-haknya. Sibuk dengan urusan kita sendiri. Lupa untuk sekedar memijat kakinya, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, atau memberikan hadiah untuknya. Karena ia tak butuh semua itu. Yang ia inginkan anaknya menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholehah.

Seorang ibu saat itikaf tahun lalu pernah berkisah padaku. Tentang anaknya yang ia banggakan, seorang mujahid yang konsisten di jalan dakwah. “Ibu tsiqoh, ia menjalankan semua ini karena amanah dakwah dan kebaikan. Meski sering kali begitu sulit untuk bersamanya, bahkan dalam itikaf pun andaikata ibu tak ikut mungkin ibu tak bisa bersamanya. Dan disini ibu pun terpisah darinya dibatasi hijab. Namun ibu percaya, ia berada dalam jalan yang diridhoiNya. Ya, ibu hanya bisa mendoakannya agar selalu berada dalam kebaikan.” Selalu ada kebanggaan yang terucap dari lisannya, betapapun ia khawatir akan anaknya yang begitu sibuk. Selalu ada toleransi dan pengertian. Dan itulah ibu, kekuatan cintanya tak terbalaskan.

Sahabatku, hari ini hari milik kita, esok pun juga milik kita. Namun jangan jadikan sekedar milik kita. Tapi jadikan pula milik keluarga kita, milik ibu, ayah, kakak, adik, dan segenap orang-orang yang kita cintai. Meski perjalanannya tidaklah mudah, namun bukan berarti tak mungkin. Tuk menjadikan ibu kita bidadari surga, tuk membawa ayah, kakak, adik, dan orang-orang yang kita cintai menuju cintaNya, dan berdoa agar kita dikumpulkan dijannah-Nya. Jadilah mentari yang terus menyala dalam ruang keluarga kita, disini di dalam hati-hati kita. Jadilah nur yang membawa cahaya kebaikan dengan cinta dan kasih sayang. Sungguh, kehidupan kita tak pernah lepas dari doa-doa ibu, kesuksesan kita tak lain adalah hasil munajat ibu. Dan kebaikan yang ada, mungkin adalah hidayah dari tiap bulir air mata yang mengalir di pipinya.

Jangan lupakan bidadari surgamu menanti sedikit waktumu bersamanya. Tuk berjalan bersama dalam naungan Ar-RahmanNya, dalam lindungan Ar-RahiimNya, dalam cahaya CintaNya. Mengarungi perjalanan kehidupan bersamamu tuk menuju jannahNya. Karena jannahNya begitu mahal. “Mama tsiqoh padamu, sayang padamu, dan senantiasa berdoa untukmu. Jadilah anak yang sholeh sholehah, agar Mama dapat mempertanggungjawabkan amanah ini dihadapan Allah kelak.”

*****

Sahabat, tulisan ini dibuat dari berbagai cerita tentang ibu yang aku dan sahabat-sahabatku alami. Sungguh, semoga menjadi renungan tentang selaksa cinta dan grand design yang harus kita siapkan untuk orang-orang yang kita cinta. Agar menjadi baiti jannati, dan agar kebersamaan ini terus berlangsung hingga perjumpaan denganNya. Jagalah ibu, ayah, kakak, adik, dan saudara-saudara kita dengan cinta dan keimanan, bawalah sebanyak mungkin mereka menuju jannah-Nya.

Azsya

II

BIDADARIKU, AKU RINDU...

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Hmh…. Aku kembali menghela nafas panjang. Setampuk amanah yang ada di hadapanku menanti komitmen yang luar biasa besar. Rangkaian upaya kaderisasi yang ideal masih menjadi penelitian besar dalam laboratorium dakwah sekolah ini. Ditengah kesibukanku dan rutinitas dakwahku yang begitu menyita sebagian besar waktuku, sebuah kerinduan menyelinap hadir dalam hatiku. Tiba-tiba saja butiran kristal air mata membasahi pipiku… Gelombang kerinduan yang begitu besar hadir mengganggu konsentrasiku. Malam itu disela waktu jagaku, tepat pukul dua belas malam saat aku menyiapkan materi Ash Shaff untuk pertemuan besok dengan bidadari-bidadari kecilku sepulang waktu jagaku.

Kuambil handphoneku, kutulis seuntai bait kerinduan. Bidadariku, kaifa halukh wa imanuki? Aku sangat rindu padamu. Kala kesendirian ini mengiringi hari-hariku, aku ingat padamu. Perjalanan ini terasa sepi tanpa dirimu disisiku. Dulu kita punya banyak mimpi dan cita bersama. Ingatkah, dulu aku bintang di hatimu dan begitu juga dirimu. Kita sepasang mujahidah yang berjuang bersama. Waktu seorang akhwat memang terbatas, apakah saat ia menikah ia harus menjadi burung sayap patah?? Aku kangen banget de… Rindu semangat juangmu, rindu melihat hamasah dari cahaya di matamu, rindu orasi-orasimu, rindu mendengar tilawah Qur’anmu, rindu tausiyahmu, rindu berjuang bersamamu……

Semalam tadi aku menangis, mengingatmu, mengenangmu….. Kau tak membalas SMSku. Mungkin karena terlalu larut. Mungkin juga karena kesibukanmu kini. Ada amanah lain, amanah yang juga indah. Mujahid –mujahid yang mengantikan posisiku (aku masih saja selalu cemburu pada mereka, seolah mereka merebutmu dariku). Namun bagaimanapun aku turut bahagia, saat melihatmu dan dunia baru milikmu. Aku tahu semua itu begitu indah, kau begitu sering menceritakannya padaku. Tentang mujahid-mujahidmu, aku bahagia untukmu. Aku tak kuasa kala melihat binar matamu saat kau ceritakan tentang mereka. Semburat kerinduan juga mungkin hadir dalam diriku. Tentang mendampingi mujahid dakwah, tentang menjadi seorang ibu, tentang memiliki jundi-jundi dalam kehidupan yang miskin ini. Aku mungkin kini hanya mengisi sebagian kecil kapling di hatimu, menoreh catatan sejarah… Semoga tentang indahnya persahabatan kita…. Tapi, hari ini aku sangat rindu bermimpi kembali bersamamu, membangun sebuah tandzhim dakwah sekolah (DS) yang kokoh.

Kau pernah berkata padaku, aku harus lebih realistis… Tentang usiaku, tentang waktu terbaik reproduksiku, tentang hak-hakku… Aku tahu semua itu. Tapi saat setampuk amanah, sekelumit sistem kaderisasi hadir di hadapanku, semua tentang itu lenyap dari hatiku. Yang ada hanyalah bagaimana mencetak banyak kader untuk bisa mengatasi masa transisi ini. Sejumlah agenda pertemuan, strategi dakwah dan jihad, serta manajemen waktu yang harus terus diperbaiki. Kau pasti mengenalku, seorang yang memang sangat keras kepala dan tak mau mengalah…

Aku ingat saat mengiringimu menjelang pernikahanmu. Kau begitu bahagia, begitu juga diriku. Aku selalu berada di baris terdepan kepanitiaan pernikahan bidadari-bidadari terbaikku, melihatmu bahagia adalah kecukupan bagiku. Dulu kau sempat takut, pernikahan membawamu pada dunia baru yang berbeda (mungkin juga karena kau harus berpisah denganku… Hehe…). Dan aku berusaha untuk selalu disampingmu, menyemangatimu, dan berkata “Jangan takut dan bersedih, gerbang pernikahan bukan akhir segalanya tapi justru awal dari sebuah kekuatan baru untuk berjihad dijalanNya.” Kata-kata itu terus menerus kuulang pada setiap pernikahan sahabatku.

Kini tahukah dirimu, aku tak sanggup lagi mengatakannya…. Aku tak kuasa lagi harus berada di baris terdepan kepanitiaan bidadari-bidadariku yang kini tersisa. Aku harus berjuang menyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan akhir segala cita DS kita.

Bidadariku, sahabat terbaik yang pernah Allah berikan padaku…. Aku begitu rindu padamu… Jika ruang dan waktu kini memisahkan diriku dan dirimu, izinkan aku tetap mencintaimu, tetap berjuang tuk kobarkan semangat juangmu kembali…. Aku tahu sayapmu tak pernah patah, justru mungkin kian mengembang… Dengan segala amanah baru yang luar biasa… Andai kau ikhlas tentu itu kan jadi wasilahmu menuju jannah-Nya. Aku tahu cita itu masih hadir di hatimu, saat-saat bersama DS adalah saat-saat terbaikmu… Aku sangat ingin berjuang kembali bersamamu, mungkin suatu hari nanti mimpi ini jadi kenyataan… Saat bersamamu kembali dalam ruang-ruang syuro, mabit, dan amal bersama kita di DS. Dan aku masih memilih untuk keras kepala, maafkan aku (aku tahu kau masih begitu menyayangi dan memperhatikan aku). Tapi…, aku memilih untuk tetap berjuang di DS ini hingga saat yang tepat untukku menuju cita yang lebih besar.

Aku tak mungkin meninggalkan bangunan dengan landasan yang belum kokoh, aku tidak ingin meninggalkannya kembali pada titik nol perjuangan…. Kini, ini menjadi pertempuranku… Meski tanpamu di sisiku. Bangunan dakwah ini belum usai tuk berdiri tegak, dan entah kapan ia kan menemukan futuhnya. Usia dakwah bukanlah usia manusia, kita hanya bisa berjuang dan berjihad. Aku hanya ingin tetap berjuang bersama mereka… Doakan saja aku ya. Sungguh, malam ini…. Jauh dilubuk hatiku…. Aku begitu rindu kepadamu…. Jauh dilubuk hatiku…. Aku ingin kembali berjuang bersamamu…...

*****

Untuk bidadari-bidadari terbaik yang pernah hadir dalam hatiku, menemani setiap langkah perjuangan ini. Kita pernah punya masa-masa paling indah, saat tawa, canda, tangisan adalah warna kita bersama…. Terima kasih untuk memberiku kenangan terbaik tentang kita. Terima kasih untuk segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan. Semoga Allah memudahkan amanah yang kini ada dipundakmu… Menjadi perhiasan terbaik bagi suamimu, menjadi madrasah terbaik bagi anak-anakmu…. Menjadi jundi terbaik bagi dien ini… Jika kau rindu, rumah ini selalu terbuka menanti semangat dan karya juangmu….

Azsya

III

BURUNG PATAH SAYAP

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Ukhti, aku selalu mengagumi sayap-sayapmu yang tak pernah berhenti mengepak dan senantiasa terbang tinggi dan kian tinggi. Kecepatan dan gelombang ruhiyahmu pun sangat luar biasa. Dirimu, aktivis dakwah yang tak pernah kenal henti berjuang, dinamis, dan haroki, mewakili motomu tentang jangan pernah diam dan berhenti bergerak, karena diam dapat mematikan.

“Ustadz, apakah usia perjuangan dakwah akhwat begitu terbatas? Terbatas oleh usianya, pekerjaannya, dan terbatas oleh amanahnya dalam rumah tangga?” Tanyaku suatu hari pada seorang ustadz. “Kalau begitu aku iri pada teman-teman ikhwan seperjuanganku. Mereka dapat cuek untuk tidak memikirkan pernikahan. Toh setua apapun kelak mereka mau menikah, mereka dapat dengan mudah menikahi akhwat yang lebih muda. Jika akhwat, semakin tua… Adakah ikhwan yang berkenan padanya?” Aku masih dengan pertanyaan polosku. Ustadz hanya tersenyum… I know.. Itu berarti aku sendiri tahu jawabannya. Dungdungdungdung…..

Fenomena ini mungkin mengenai semua lini dakwah. Saat sebagian akhwat berhenti dari aktivitas dakwahnya justru setelah ia menikah. Aku mencoba merenungi dalam-dalam. Pasti ada yang salah, (bisa jadi pemahamanku, pola pikirku) ya…, pasti ada yang dapat kujadikan pelajaran. Dalam benakku, pernikahan di jalan dakwah adalah pernikahan dua aktivis yang bertujuan memperkokoh tandzhim dakwah, menyatukan kekuatan, dan mencetak generasi baru jundullah. That’s the point, namun dalam kenyataannya seringkali kondisi ini tidak se-idealis yang ku bayangkan… Ada berbagai situasi dan kondisi yang realistis yang harus dicermati. Dan aku belajar banyak, dari pernikahan saudaraku, sahabat-sahabatku, patner-patner dakwahku…

Bidadari, menikah adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah bagi setiap muslim. Ya, of course, karena akhwat adalah tulang rusuk yang bengkok. Harus ada yang meluruskannya dengan penuh kesabaran kalau tak ingin patah. Pernikahan sepasang aktivis dakwah haruslah karena dakwah (terlepas dari berbagai fenomena yang ada saat ini; VMJ (virus merah jambu), take in, atau hubungan tanpa status). Dan saat menikah di jalan dakwah, maka proyek dakwah dalam keluarga adalah konsekuensi logis dari pernikahan para aktivis.

Namun bagi akhwat, ada banyak hal baru yang nembuatnya harus berada dalam dunia yang mungkin berbeda. Tak jarang menghentikan sementara gerak langkahnya (terlebih saat buah hati telah hadir dalam kehidupannya). Namun ini hanya sementara, sampai jundi kecilnya mulai bisa diajak berjihad. Right??? Maka menjadi amanah bagi keduanya untuk saling mengingatkan, agar mujahidah dakwah tak bagai burung patah sayap.

Aku yakin engkau tahu benar bidadari, bahwa sebagai akhwat aktivis dirimu memiliki banyak potensi. Kemampuan manajerial, strategi dakwah, membina, kaderisasi, dan banyak hal lainnya yang sebenarnya tidak terbatas. Apakah harus berakhir di gerbang pernikahan? Meski ada amanah lain yang juga tak kalah menantangnya, menjadi madrasah terbaik, bidadari terbaik di rumahnya. Namun potensi itu punya hak untuk terus berkembang, jangan dibiarkan padam atau meredup. Potensi itu harus terus dinamis dan haroki, untuk membuat satu karya terbaik bagi umat. Ada banyak kader akhwat, namun mengapa masih sulit untuk mencari mentor? Mengapa masih sulit untuk mencari pengisi ta’lim? Mengapa begitu sulit untuk mencari aktivis akhwat di lini dakwah ini? Nikmat tarbiyah punya satu konsekuensi logis bagi para jundinya, yaitu bergerak dan beramal, untuk satu cita IQQOMATUDIEN (menegakkan dienNya).

Entahlah, kadang tanya ini tak berujung jawaban. Satu hal yang pasti harus terus kita benahi adalah sebuah sistem yang terbaik untuk mengelola potensi para umahat. Dan tarbiyah sebenarnya telah menjadi wasilah yang tepat. Namun terlepas dari sistem ini, ada satu point yang lebih utama. Niat, ghirah, tadhiyah, hamasah dari para aktivis dakwah akhwat itu sendiri, untuk terus menjadi cahaya umat, tidak semata menjadi cahaya di rumahnya saja. Maka kepak sayap itu akan terus berkembang dengan dua kekuatan besar dalam sebuah rumah tangga yang tak ubah bagai sebuah markas jihad. Bagai sayap burung, ia kan terus terbang lebih tinggi. Tak kenal henti, karena ada tujuan bersama yang begitu indah… Jannah dan pertemuan dengan-Nya.

Bidadari, sungguh…, tidak ada yang membedakan usia perjuangan dakwah akhwat dan ikhwan. Mungkin bentuk dan kadarnya saja yang berbeda. Namun semangat dan gelora jihadnya tidak boleh berbeda. Karena kelak dihadapan Allah, hanya ketaqwaanlah yang membedakan. Bukan gender, suku, rupa seseorang. (Dan aku tidak mau mengalah, juga tidak mau berhenti berfastabiqul khoirot dengan teman-temanku….. Duh…. Nih kepala terbuat dari apa sih?).

Ukhti fillah, para aktivis dakwah, akhwat, dan umahat. Gerbang pernikahan adalah awal fase baru dalam kehidupan (pernikahan bukanlah hidup baru, hanya sebuah fase baru, karena kehidupan baru kita adalah saat kita bertemu Rabb kita. Saat nyawa meregang dari tubuh kita, saat kita akan berhadapan dengan hari yang sangat berat untuk hisab kita. Itulah hidup baru kita, kematian dunia untuk sebuah kehidupan abadi di akhirat kelak). Gerbang itu bukan untuk menutup semua potensi kita, tapi justru laboratorium pengembangan kapasitas dakwah kita. (Berat menulis seperti ini, karena Uz belum bisa membuktikannya alias konsulen teoritis saja).

Saat memasuki rumah dakwah baru, maka saat itulah genderang jihad dibunyikan untuk melihat sejauh mana dua kekuatan besar tersebut berkolaborasi membangun sebuah kekuatan yang dasyat untuk menjadi kemanfaatan yang besar bagi masyarakatnya, negaranya, dan terutama bagi diennya. Dan PR ini bukan main-main, agenda ini harus senantiasa di evaluasi bersama. Karena kita semua adalah du’at, nahnu du’at qobla kuli syai (kita adalah da’i sebelum yang lainnya ).

Maka ukhti fillah, akhwat, dan umahat bantulah para akhwat aktivis untuk tidak fobi terhadap pernikahan. Dengan segala keterbatasan, teruslah kepakan sayap jihadmu. Minimal lewat perhatian dan doamu. Karena Nusaibah, Khadijah, Khansa, tidak lahir begitu saja. Generasi shahabiyah bukan impian semu yang tak mungkin hadir di akhir zaman ini. Kita adalah wanita akhir zaman, kita tidak bisa berhenti melangkah dan bergerak karena cita-cita besar kita belumlah futuh hingga dakwah mencapai kemenangannya. Kehidupan kita bukanlah sebatas suami, anak dan segala kesulitan rumah tangga kita. Tapi lebih besar lagi… Ini adalah tantangan bagi saya, meski saya tak pernah mampu meraba masa depan.

Tapi semoga Allah mengistiqomahkan kita, akhwat, dimanapun nanti ukhti berada, mendampingi mujahid manapun…. Jannah itu adalah milik kita juga, maka bertempurlah tuk jadi yang terbaik dari setiap peran yang harus kita jalani. Ini pertempuran kita…. Tuk buktikan pada dunia kita mampu setegar para mujahidah Afgan yang saling menyemangati antar para umahat untuk mendorong para suaminya berjihad dan menutup pintu rumah kala suaminya bermalas-malasan dari dakwah.

Ini pertempuran kita, tuk buktikan pada Allah bahwa Dia tak pernah salah memilih kita menjadi mujahidah dakwahnya… Yang menjadikan suami dan anak bukan fitnah baginya. Namun menjadi kekuatan luar biasa, sekuat para mujahidah dan para umahat Palestina yang tak pernah berhenti melahirkan dan mendampingi mujahid dakwah meski mereka harus kehilangan semua orang yang dicintanya…. Demi izzah Islam.

Ini pertempuran kita… Tuk kalahkah stigma bahwa akhwat bagai burung patah sayap saat ia menikah. Bertempurlah ya ukhti, terutama dengan diri kita sendiri. Karena seringkali ialah musuh terbesar kita.

Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-orang yang rugi…” (Q.S Al Munafiqun : 9).

Karena kau ukhti mujahidah…. Karena kau pendamping mujahid dakwah… Maka sambutlah seruan ini… Semoga kelak kau kan menjadi bidadari surga mulia di jannah-Nya. Wallahualam bishawab.

*****

Azsya

IV

CINTA ITU…

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

“Sudahlah Uz, dirimu tidak akan pernah mengerti rasa itu. Dari sekian akhwat, Uz yang paling minim pengalaman dengan rasa ini kan? Jadi bagaimana mungkin anti bisa faham, sementara anti selalu berbicara idealisme, sistem, tsiqoh…. Anti tidak akan mengerti saat cinta itu hadir, berat ukh… Ini keputusan saya. Biar semua orang menentang hatta memberikan stigma negatif, saya memilih cinta saya… Bukankah bisa jadi ini yang terbaik dari Allah? Maafkan saya ukhti, ini pilihan saya….”

Cinta itu…

Aku tak tahu kenapa satu kata ini terkadang begitu memiliki kekuatan yang dahsyat untuk sebuah perubahan. Bohong besar jika orang hanya menilaiku seperti itu. Meski jujur, mungkin ada benarnya. Karena ruang cinta dalam hatiku adalah ruang misteri dan rahasia yang hanya diketahui olehku dan Rabbku saja. Aku bersyukur sejak dulu hingga saat ini tak pernah aku bercerita pada siapapun tentang rasa yang mungkin pernah hadir melintas sebagai bagian dari ujian tuk mereguk manisnya iman (meski pas ABG… Ya…, ini mah masih jahiliyah. Ngeceng terus… Astagfirullah). Bagiku itu adalah jihad yang bisa dilakukannya, mengendalikan rasa, menyimpannya dalam kotak rahasia terdalam, dan menghapusnya perlahan hingga keras tuk berjuang mendapatkan kemurnian hati ini kembali.

Tapi ternyata saat cinta melancarkan serangannya pada hospes siapapun, virus itu bisa jadi mengalahkan berbagai sistem imun yang ada.Virus ini (apapun namanya, VMJ, HTS [hubungan tanpa status], virus asmara) boleh jadi kehilangan kekuatannya saat semuanya dikembalikan pada Allah. Namun diberbagai penjuru riak hati berjuta muslimin dan muslimah yang lain virus itu dibiarkan begitu saja, seperti parasit yang terus menggerogoti, tidak pernah puas dengan satu gigitan pada hospesnya. Mengotori hati, mengganggu pikiran, menggugurkan amal dan keikhlasan. Ia dibiarkan tumbuh, menggerototi dengan perlahan relung hati yang suci. Hingga akhirnya sang virus tertawa terbahak saat kemenangan diraihnya.

Cinta itu…

Bahkan dikalangan para aktivis dakwah…… Virus ini menebar penyakit yang menakutkan. Membangun angan-angan, melemahkan dakwah, memfasilitasi kemaksiatan dan menggugurkan amal. Astagfirullah, aku faham ini bukan hal yang mudah. Aku pun merasakan berat dan jatuh bangunnya diriku untuk terus meluruskan niat dan melawan virus-virus itu. Jihad ukh, bisa jadi tertundanya kemenangan dakwah, kesulitan menghafal Al-Qur’an, hambatan beramal muncul dari kemaksiatan-kemaksiatan kita (yang kita anggap kecil, padahal di zaman Rasullah itu adalah sesuatu yang besar).

Ikhwah juga manusia, punya hati punya rasa… Punya kecenderungan. Ya, aku faham betul hal ini (aku juga manusia ko… Tenang aja, bahkan aku adalah makhluk paling lemah, manusia yang punya kesalahan teramat banyak, manusia dengan dosa yang tak terhitung). Hanya saja bidadari, dakwah, tarbiyah, dan manhaj yang kita amalkan tidak pernah mengajarkan kita hal ini. Surat cinta Allah meminta kita untuk menundukkan pandangan, tidak bertabaruj, menegaskan suara, menjaga diri kita, menikahkan para bujang (kita buka lagi surat cinta Rabb kita dalam surat An-Nur dan Al-Ahzab). Allah SWT begitu tegas menjaga kita, begitu sayang terhadap akhwat dan ikhwan, begitu ingin hambaNya memasuki jannah-Nya.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat…” (QS.An-Nuur : 30-34).

Cinta itu….

Aku belum mampu mendefinisikannya jika cinta itu antar dua mahluk bernama laki-laki dan perempuan. Mungkin suatu saat nanti aku dapat menceritakannya jika memang sudah ada yang berhak atas cinta itu.

Aku tahu beratnya rasa itu saat telah hadir di relung hati. Aku tahu bahwa mungkin tidak sedikit air mata yang mengalir di pipimu ya ukhti karena rasa itu. Atau sulitnya matamu terpejam saat satu nama, satu wajah melintas di benakmu. Beratnya hatimu tuk lawan semua rasa itu, tuk kendalikan hati terlebih saat gayung cinta itu bersambut, dan nyanyian kutunggu kau dibatas waktu seakan menjadi lagu wajib yang didendangkan setiap hari….

Namun, ya ukhti karena kau bidadari… Maka tugas kita untuk menjaga saudara-saudara kita, mujahid-mujahid kita tetap pada keteguhannya dan tidak terjatuh dalam pesona fitnah kita akhwat. Karena rasa sayang kita, maka kita menjaga para mujahid dakwah menjadi orang-orang yang berhak mendapatkan churin’in (bidadari surga). Dengan ketegasan kita, dengan ghadul bashar kita, dengan keteguhan hati kita, dengan prinsip-prinsip kita… Kita berjihad mengendalikan semua rasa… Karena kau bidadari, kaulah mas’uliah bidadari-bidadari surga yang senantiasa afifah (menjaga kesucian dirinya). Tidakkah kau tergoda… Saat Allah SWT memandang kita dengan penuh rasa cinta, dan menjadikan kita bidadari di jannah-Nya…

Cinta itu…

Aku malu ya ukhti, saat aku berkutat dengan cinta yang lain atau saat mata ini menangisi satu cinta selain cinta pada Allah. Sementara seorang Syaikh DR. Aidh bin Abdullah al Qarni menulis begitu indah tentang air mata cinta. (Tarbawi,Edisi 148 , kolom Waha).

“Tangisan cinta itu unik. Airmata cinta itu aneh. Panah cinta itu begitu menyakitkan. Perpisahan dari yang dicinta tak ada tabibnya. Orang-orang pecinta adalah orang yang lekas menangis jika mengingat Yang Dicintainya, Allah SWT. Suatu ketika, dibacakan sebuah ayat dihadapan pemimpin makhluk ini, Rasulullah SAW. Saat ia mendengar firman Allah SWT, “ fakaifa idzaa ji-naa min kulli ummatin bi syahiid… (maka bagaimanakah halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu.” ( QS. An Nisaa : 41 ). Lalu airmatanya bercucuran.

Cinta itu….

Takkan pernah ada habisnya kita berbicara tentang cinta. Bidadari, aku tahu tak pernah mudah bagi kita berjihad mengendalikan rasa ini. Terlebih saat lonjakan-lonjakan perasaan, mimpi-mimpi pernikahan, menggoda kita teramat sangat. Tidak pernah mudah, bahkan mungkin sangat berat. Namun bukankah kita tak pernah mampu meraba masa depan? Jodoh kita hanya Allah lah Yang Maha Tahu. Inilah saatnya kita bersandar pada-Nya dengan penuh kepasrahan, keikhlasan, dan berikhtiar dengan cara terbaik. Semoga kelak, cinta kita adalah keberkahan bagi dakwah, kemaslahatan bagi umat dan kekuatan bagi jihad ini, karena Rasulullah menanti kita di telaga Al-haudh, menanti selaksa cinta sejati kita.

Maka ukhti fillah marilah kita berjuang sekuat tenaga kita. Berlepas diri dari cinta yang selain cinta-Nya. Berlari dan melaju pesat menuju cinta-Nya. Menangis memohon cinta-Nya. Semoga tiada lagi air mata yang mengalir karena cinta selain-Nya. Iman itu teramat manis. Semakin berat ujian yang menghadang tuk murnikan cintamu ya ukhti, semakin manis iman yang akan direguk. Yakinlah kesabaran akan membuahkan keberkahan. Allah SWT telah menyiapkan seorang mujahid terbaiknya bagimu. Entah siapa dia, apakah orang di seberang lautan atau di depan mata. Wallahu’alam, tapi aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik.

“Sebagian orang berdoa agar mereka dapat menikahi laki-laki yang mereka cintai. Tapi doaku sedikit berbeda. Dengan rendah hati aku mohon pada Tuhan agar aku mencintai laki-laki yang aku nikahi.“( Cinta Yang Terlambat, Dr. Ikram).

*****

Untuk seorang sahabat, semoga pilihan terbaik bagimu. Semoga Allah menunjukan cinta sejati bagimu. Aku tahu tak pernah mudah, tapi aku yakin mujahidah setangguh dirimu dapat melewati semua ujian berat ini… Sungguh aku masih berharap dan senantiasa berdoa untuk kebahagiaanmu…

Azsya

V

UKHTI, DON’T BE SAD

(Refleksi atas artikel father-phobia; is it true that I love you now, Dad?)

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

“Cinta itu apa bu? Kenapa yang ada di rumah ini hanya kegalauan dan pertengkaran antara ayah dan ibu? Apakah karena cinta pula tiap pagi piring-piring berterbangan dan merusak suasana pagi yang seharusnya indah dan ceria? Bukankah ini hari pertama aku masuk Taman Kanak-kanak? Tapi kenapa ibu justru telungkup diatas tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya? Dan ayah, kenapa pergi begitu saja? Bukankah ibu sedang sedih?”

Ukhti fillah, kisah ini tentang seorang gadis kecil yang teramat kukenal. Usianya masih 5 tahun saat itu, saat kemelut rumah tangga ayah dan ibunya menjadi mimpi buruk masa kanak-kanaknya. Kenangan tentang indahnya masa kecilnya tergantikan dengan mimpi buruk yang berakibat pada sleep walkers yang menimpanya. Gadis kecil itu berkata pada ibunya, “Bu, Allah itu jahat ya membiarkan aku menanggung beban seberat ini, padahal aku belum genap enam tahun.....” Sejak saat itu gadis kecil itu berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan pernah menangis. Dia akan senantiasa tersenyum, melucu, dan menjadi penyejuk hati. Cita-citanya sederhana, dia ingin sekali saja, air mata itu tidak mengalir dari pipi ibunya. Ia hanya ingin sekali saja ibunya tersenyum bahagia dan melupakan semua gundahnya. Janji itu terus dipegang teguh olehnya hingga hari ini. Airmata dan kesedihannya hanyalah miliknya dan Rabbnya saja.

Perjalanan waktu membawanya pada berbagai kondisi yang kian berat dan tidak mudah. Ukhti, jika satu saat kau menangis saat ayahmu memilih berpoligami, gadis yang mulai beranjak remaja ini menangis karena ayahnya memilih untuk tinggal dengan wanita lain yang tidak jelas status pernikahannya. Dan tiba-tiba seseorang mengaku sebagai adiknya atau mamanya. Pengkhianatan, rasa kecewa, dan rasa sakit adalah menu harian yang harus ditelannya bulat-bulat. Tanpa perisai, hingga hampir saja ia terjebak dalam depresi yang berkepanjangan. Sebelum kemudian sesuatu mengetuk hatinya yang ringkih.

Bu, hidayah itu begitu indah.Suasana islami di sekolahku mengajarkan aku banyak hal dan membuka mata hatiku akan cinta hakiki. Usia jadi saksi bisu saat aku mulai ber-ibu langit yang pandai menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang hakikat diriku. Ibu langit begitu luas Bu, dan aku begitu kecil. Dan Allah lah penguasa langit dan bumi, aku hanyalah sebutir debu dihadapan-Nya. Tidak sukar bila Allah menghendakiku tersambar sang petir dan kembali pada-Nya. Aku kini tahu kenapa orang-orang begitu taat untuk melakukan sholat. Karena sholat itu indah, saat-saat pertemuanku dengan Allah. Hanya pada-Nya aku mengadu, dan beban ini terasa menjadi begitu ringan. Bu, kini aku belajar untuk mulai mencurahkan isi hatiku, mengeluarkan kesedihanku, hanya pada satu dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati, hanya pada Allah Bu.”

Ukhti, saat kau bertanya dengan linangan air mata di pipimu, saat kau marah dengan segenap bara yang membakar hatimu melihat tindakan yang dilakukan ayahmu. Sungguh saat yang sama ada satu hati yang jauh lebih sakit, jauh lebih menderita, dan jauh lebih terkhianati… Saat puluhan tahun pernikahan ternodai, saat cinta dan kenangan indah menguap dari cerita hidupnya. Satu hati milik ibu… Milik seorang istri dari seorang suami, milik seorang wanita yang mendampingi perjuangan suaminya dari titik nol. Rasa sakit dalam hatimu takkan mampu mengalahkan rasa sakitnya..... Akankah kau tambah rasa sakitnya dengan rasa sakitmu?

“Tapi Bu kenapa masih sering kulihat air mata itu mengalir di pipimu? Maafkan aku Bu yang kerap kali mengabaikan kesedihanmu. Kehilangan orang yang dicintai itu tidaklah mudah, ya kan Bu? Namun kini menjelang kedewasaanku, aku kian menyadari bahwa ujian yang keluarga kita rasakan adalah suatu pertanda kecintaan-Nya pada kita. Allah begitu sayang kita Bu. Meski penderitaan ini seakan tak berujung, tapi lewat hikmah yang Dia berikan kita dapat belajar banyak. Siapakah yang mengajarkan kita tentang kesabaran, keikhlasan...? Hanya Allah Bu.. Bu, aku akan terus belajar untuk mencintai hanya karena Allah. Hingga tiada lagi rasa kecewa, tiada lagi kepedihan, dan patah hati karena tiap kesedihan adalah bukti kecintaan-Nya pada umat-Nya. Ujian kerap kali terasa berat, namun bukankah surga-Nya teramat mahal?”

Ukhti, tidakkah kau merasa tersanjung? Saat Allah memilihmu tuk menjadi mujahidah tangguh yang mampu lalui semua ujian. Tidak semua orang mengalami ujian sepertimu. Bukankah itu tandanya kau ukhti terpilih? Bukankah itu berarti Allah tsiqoh padamu? Bahwa kau kan mampu melalui semua ujian dengan kesabaran dan ketangguhanmu. Untuk menjadi prajurit Allah yang tangguh dibutuhkan jiwa dan tekad sekuat baja, kesabaran seluas samudera bahkan lebih dan tanpa batas, dan Allah mengajarkanmu dengan skenario ini… Sungguh kau ukhti terpilih…

“Bu, aku ingin sekali tertawan dalam sebuah cinta. Cinta pada Sang Maha Pencipta. Cinta yang abadi, cinta yang memberiku kesejukan hakiki, dan cinta yang tak pernah bertepuk sebelah tangan. Aku ingin Ibu juga berjalan bersamaku melalui jalan ini. Jalannya tidak pernah mulus, begitu banyak tanjakan dan kerikil tajam yang siap menghadang kita. Tapi kita bersama Bu, dan semoga selalu istiqomah menapaki jalan cinta yang sejati. Ajak ayah juga Bu, bagaimana pun ayah adalah orang tuaku yang harus kuperlakukan dengan baik. Dengan cinta dan keikhlasan kita pasti dapat memaafkan ayah. Bukankah Allah begitu mudah memaafkan hamba-Nya yang dosanya seluas bumi dan langit? Kenapa kita tidak? Padahal kitapun tiada pernah luput dari dosa.”

Ukhti, jika dahulu kau cinta ayahmu…., maka kini kuatkan kecintaan itu padanya. Sungguh kebencianmu takkan menjadi obat bagi luka hatimu. Aku tahu tak mudah sembuhkan luka, namun bukankah kita punya Maha Penyembuh Luka??? Tidak mudah memahami skenario Allah, qodla dan qodar-Nya. Namun pantaskah kita menyalahkan-Nya? Ukhti sholehah, mujahidah, calon bidadari penghuni surgaNya…. Dunia ini hanyalah sementara. Waktunya hanyalah sebentar jika dibandingkan kehidupan kita di akhirat kelak. Ada yang diuji dengan ayahnya, ada yang diuji dengan ibunya, ada yang diuji dengan istri atau suaminya, dan ada juga yang diuji dengan anaknya. Semua itu adalah bentuk kecintaan Allah tuk jadikan kita pantas menghuni surga yang dijanjikan-Nya. Pantaskah karena kecintaan Allah lewat ujian yang kita alami, kita lalai tuk bersyukur atas semua nikmat-Nya?

Ukhti, mungkin kita belum mendapatkan ayah terbaik, ibu terbaik, saudara-saudara terbaik seperti yang kita inginkan. Tapi kita mendapatkan ayah, ibu, saudara terbaik yang kita butuhkan. Dan bila pun bukan yang terbaik yang kita dapatkan, bukankah kita senantiasa bisa menjadi yang terbaik bagi mereka? Karena kecintaan kita, keikhlasan, dan kesabaran kita semoga menjadi penyejuk mata, penentram hati, dan penggugah iman. Ukhti, teramat berat saat kita menggantungkan harapan dan menuntut terlalu banyak pada makhluk, karena kita pasti kan kecewa. Satu-satunya tumpuan harapan kita hanyalah Rabb kita, ya hanya Dia saja…..

“Bu ajari aku agar dapat mengajarkan cinta yang hakiki pada cucumu kelak, agar dapat menunjukkan bahwa cinta pada Allah diatas segalanya dan cinta-cinta yang lain yang ada dalam hati ini adalah refleksi dari kecintaan pada-Nya. Ajari aku Bu, agar masa kanak-kanakku tiada akan pernah terulang lagi.”

Bu, ayah dimana...? Bu, kenapa Ibu menangis? Bu, Ade rindu sama ayah. Bu, ayah tidak sayang Ade lagi ya???

Ukhti, sungguh Allah sangat sayang padamu. Jangan kau tanyakan bagaimana nasibmu. Karena pastinya kau akan menjadi mujahidah yang tangguh. Saat ini adalah saat terbaik bagimu tuk hapus air mata ibu, dengan selaksa kekuatan yang kau berikan padanya lewat doa-doa malammu, lewat tausiyahmu, lewat senyum termanismu. Seberapapun kepedihannya, saat melihatmu hilanglah rasa itu berganti rasa syukur bahwa cintanya dan ayahmu dulu berbuah bidadari luar biasa sepertimu. Saat ini pula saat terbaik bagimu tuk berdoa pada Allah agar memberikan hidayah dan jalan terang bagi ayahmu. Agar Allah mengampuni dosa ayah dan ibu, dan agar Allah menjadikanmu anak sholehah yang mampu menjadi syafaat bagi keduanya. Maafkanlah, semua kan terasa lebih mudah bagimu….

Ukhti, gadis itu menutup ceritanya padaku dengan luar biasa. Semoga dapat menjadi inspirasi bagimu. “Mama memilih bersabar. Katanya padaku, dengan ujian ini ia kian mengenal Rabbnya. Belajar berlapang dada. Ya, De, Mama memilih bersabar atas semua yang ayahmu lakukan. Inilah jalan surga Mama. Tidak mudah, namun De, teramat luar biasa saat kau mampu mendoakan orang yang mendzalimimu. Saat ini, inilah pilihan Mama. Tuk terus bersyukur dan mendekat pada Allah. Jalan menuju surga tidak pernah mudah kan de? Harga surga teramat mahal, Mama tidak punya bekal yang banyak. Semoga kesabaran ini menjadi kifarat. Tak ada yang membuat Mama pantas menyalahkan Allah atas skenarionya, justru Mama sangat bersyukur atas semuanya, terutama karena memiliki amanah terindah yang senantiasa mengingatkan Mama untuk ikhlas dan bersabar… Terimakasih sayang.”

Ukhti, kini hapuslah air mata yang mengalir di pipimu dan membasahi relung hatimu. Jangan biarkan kesedihan, kebencian, membuatmu tak dapat mengambil hikmah dari Rabbmu. Sungguh aku tahu kepedihan dihatimu, andai ku di dekatmu kan kuhapus air mata itu, kupeluk erat dirimu, dan kubiarkan kau menangis sejadinya di bahuku. Namun ukhti, kau tak butuh diriku, kau punya Allah. Yang senantiasa ada kapanpun, dimanapun, bersama siapapun, tuk hibur dan sembuhkan luka hatimu dengan kasih sayang-Nya. Kau senantiasa bisa menangis di hadapan-Nya, dan hilanglah semua gundah. Yang ada hanyalah keikhlasan, kesabaran dan maaf. Tersenyumlah kini, dengan senyuman terbaikmu. Karena kau ukhti terpilih, mujahidah tangguh, dan bidadari luar biasa.

Ukhti… Don’t be sad, janganlah bersedih, la tahzan… Cause..., innallaha ma’ana…. Innallaha ma’a shobirin….

*****

Untuk ikhwati fillah yang terpilih mendapat nikmat ujian ini. Bangkitlah, janganlah terlarut dalam kesedihan. Jadilah penyejuk hati, jadilah penghibur jiwa, jadilah amanah terindah yang pernah dimiliki oleh ayah ibu kita. Sungguh andai kau bersabar, ini kan jadi ladang bagimu memahami makna kesabaran tanpa batas. Selaksa doa Azzam untukmu, semoga Allah kuatkanmu dan istiqomahkanmu di jalan-Nya. Yakinlah, badai pasti berlalu….

Azsya

Based on true story (dari pesantren kehidupan saudara-saudara yang luar biasa, full of inspiration).

VI

CATATAN PERJALANAN UKHTI AKTIVIS

( Refleksi atas artikel Keluarga vs Organisasi )

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Diary Aisyah, 12 Februari 2004

Dii, Innalillahi, Astagfirullah... Turun 0,4. Kupandangi KKS yang sejak tadi pagi kutunggu-tunggu dengan cemas. Dan diluar dugaan nilaiku kali ini sangat mengecewakan. Teman-teman dekatku masing-masing sibuk dengan nilai mereka, kudengar tahmid dari mulut mereka. Alhamdulillah bisikku pelan, setidaknya saudaraku mendapatkan hasil yang lebih baik. Kini yang terbayang dibenakku hanya bagaimana mengatakan hal ini pada ibu , mempertanggung jawabkannya pada bapak. Aku terlarut dalam hening, astagfirullah ... Semoga aku tidak termasuk orang-orang yang kufur.

Aku takut untuk pulang. Pengecut? Tidak, aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, merenung, dan mengintropeksi diri. Ifa menemaniku, kurasa ia ingin sekali menghiburku. Tapi rasanya tak ada satu hiburan pun yang mampu menghilangkan perasaan bersalahku. Aku merasa telah begitu melalaikan amanah ini. Padahal, adakah sesuatu yang luput dari hisab-Nya?

Aktivis vs Akademis

“Ukh, jadi aktivis sering bikin nilai-nilai pada turun. Sangat sulit kita memfokuskan konsentrasi. Dan diprofesi ini cuma ada dua pilihan, aktivis atau akademis.” Statement mengejutkan yang muncul dari seorang ikhwan dengan posisi strategis di kampus. Aku terhenyak kaget, namun terdiam karena sering kali akademisku pun bermasalah. Astagfirullah. Habis, kapan sempat belajar? Syuro ini, syuro itu, dan berbagai syuro lainnya adalah rangkaian hobi yang teramat sulit ku tinggalkan. Entahlah namun teramat sulit aku melepaskan semuanya. Hingga saat ini, ketika aku sudah berada di dunia profesi. Aku punya penyesalan yang panjang tidak memanfaatkan masa kuliahku dengan sebaik-baiknya.

Ukhti fillah, saat kita meneken kontrak jual beli akhirat ini, saat itu pula kita berjanji menjadi qudwah. Sungguh, berbagai pengalaman yang kualami membawaku pada satu kesimpulan. Tak satupun yang harus kita korbankan dari sekian amanah yang kita jalani, yang ada adalah bagaimana kita senantiasa belajar meningkatkan kapasitas diri dan manajerial waktu kita. Aktivis dengan prestasi akademis baik, bahkan terbaik akan menjadi nilai dakwah yang luar biasa. Aku sangat menyesal ya ukhti, aku tak ingin kau pun begitu. Amanah akademis ini adalah sesuatu yang akan kita pertanggungjawabkan. Semoga kita terus belajar, because life is never ending studying.

Diary Aisyah, 17 Maret 2004

Dii, aku bisa dibilang termasuk orang yang akan merasa bersalah bila menolak suatu pekerjaan. Dan akibat sifatku ini kerap kali aku menganiaya diriku sendiri. Aku selalu membela diri bahwa aku melakukan semua ini karena memang kenyataannya masih sedikit saudara-saudaraku yang mau bersama-sama memperkokoh barisan ini. Kini saat ku mencoba memandang dari sisi lain, aku merasa sangat egois. Menginginkan amalan ini hanya menjadi milikku tanpa berupaya membaginya dengan saudaraku yang lain. Dan kenyataannya kemampuanku dalam memanage waktu pun masih sangat lemah. Hingga tanpa dapat kuelakkan sang waktu telah berhasil menyiasati hidupku. Hari-hari berlalu begitu cepat, dan kerap kali hilang tanpa kebaikan yang bertambah dan pengawasan muhasabah (intropeksi).

Kupandangi tembok putih kamarku. Beberapa bagiannya mulai tampak kusam akibat air hujan yang merembes dari sela-sela genting. Begitu pula yang kurasakan dengan niat, semangat, dan motivasiku. Kian lama kian terasa menurun hingga akhirnya aku sering bersembunyi di balik nama amanah untuk menutupi kelalaianku akan studiku. Hati ini sudah demikian kotornya dan niat-niat yang bermunculan di dalamnya pun kerap kali mendekati larangan-Nya. Astagfirullah.... Semangat yang dulu menggebu saat aku semester satu pun seakan memudar tak berbekas. Hingga keinginan besar untuk mengalahkan anak-anak non-i yang begitu kompak dan berprestasi pun mulai luntur dari benak ini. Ya Rabb, aku rindu Aisyah yang dulu. Aku rindu saat tatapan kasih sayang dari ibu mampu menjadi motivator yang teramat besar untukku agar giat belajar. Aku rindu saat-saat dimana aku merasakan pengawasan-Mu yang teramat dekat. Kelalaianku seringkali menyebabkanku kehilangan rasa khauf (takut) pada-Mu.

Aktivis, Yaumian, dan Manajemen Waktu

Sahabatku, perjalanan dakwah adalah perjalanan cahaya. Yang hanya bisa ditempuh dengan kekuatan cahaya. Terkadang sekelumit permasalahan, setampuk amanah membuat kita terlupa tuk mohon satu energi terbesar dari Yang Maha Kuat. Hingga akhirnya amal-amal kita berlalu begitu saja, dengan persiapan yang minim, yaumian seadanya dan ruhiyah yang teramat ringkih. Padahal kita sedang mengatakan al Haq. Sungguh, terkadang ku merasa teramat sempit dengan semuanya. Dan muhasabahku menunjuk pada satu kata…, tidak tawazun. Terkadang ada saat kita harusnya sendiri, bermuhasabah dan mencharge energi keimanan kita. Namun berbagai tuntutan terkadang membuat kita tak punya waktu, bahkan untuk diri kita sendiri. Kita terlalu sering kelelahan….. Tertidur dengan lelah. Bahkan kerap meninggalkan yaumian muhasabah kita. Astagfirullah…. Ya Rabb, ampuni hamba….

Diary Aisyah, 25 Maret 2004

Dii, hari ini aku disidang dihadapan ibu dan bapak. Mereka marah karena untuk kesekian kalinya aku pulang begitu malam. Tidak ahsan untuk seorang akhwat, naek angkot pula. Dii, ayah, ibu, ade, semua tidak mau memahamiku. Sebentar lagi pemilu raya. Aku dan teman-teman sibuk mempersiapkan semuanya. Bagaimanapun calon kami haruslah menang. Alhasil syuro-syuro intensif jadi agenda rutinku, bahkan hingga ba’da isya. Sungguh semua ini untuk kemaslahatan umat. Insya Allah aku bisa menjaga diri. Dii, entahlah…, hanya rasanya aku harus mulai memahamkan keluargaku. Sungguh, hatikupun sedih saat tak bisa lagi membantu ibu menyiapkan makan malam atau menemani adik untuk menyelesaikan PR-PRnya. Namun saat ini ada amanah besar yang harus dijalankan

Lailatun Nisa

(Diterjemahkan secara paksa: akhwat yang sering pulang malam)

Ukhti mujahidah, aku faham betul akan militansimu yang luar biasa. Waktu tak jadi rintangan tuk satu cita kebangkitan Islam. Karena aku pun berusaha sepertimu, menjadi kader andalan yang senantiasa siap sedia kapanpun dakwah membutuhkan. Namun, ukhti ternyata aku tak sepenuhnya tepat. Rasulullah melarang kita, akhwat, untuk keluar di malam hari tanpa muhrim, apalagi berjalan sendirian. Sungguh, betapa Islam teramat menjaga kita para muslimah. Kesadaran itu semakin besar saat aku terpaksa mengotopsi dua orang muslimah yang tewas terbunuh selepas pengajian dari Daarut Tauhid. Saat itu azzamku meradang, akhwat tidak boleh pulang lebih dari maghrib. Aku tak ingin kejadian ini terulang kembali pada saudari-saudariku.

Meski hal ini tidak bertahan lama, meski aku masih sering pulang malam karena tuntutan amanah. Namun aku punya tiga hal yang ku tanamkan dalam hatiku. 1. Jika pulang malam sebaiknya ditemani muhrim dan pulang tidak boleh lebih dari jam sembilan. 2. Pulang malam hanya diperbolehkan jika aku membawa kuda perangku. Dan hanya karena alasan syar’i yang menyebabkanku pulang malam. 3. Berikhtiar semaksimal mungkin menyelesaikan segala amanah sebelum maghrib, dan jika terpaksa syuro selepas magrib ahsannya dilakukan di rumahku.

Ukhti, inilah saatnya kita memperbaiki diri kita. Agar dakwah kita menjadi berkah. Semua ini tidak berarti melemahnya militansi kita, sekedar memenuhi hak fitrah kita sebagai akhwat. Bukankah kita tak ingin menjadi fitnah? Bukankah para ustadz, ikhwan yang berada dalam level syuro tertinggi pun menghormati hak akhwat untuk menjaga diri sehingga syuro para ustadzah, umahat, dan muslimah hanya diperkenankan sampai maghrib? Ini tamparan keras, terutama untukku ya ukhti. Saatnya kembali pada asolah dakwah. Saatnya menjadikan segalanya berkah, saatnya punya militansi yang tepat. Karena bagaimanapun kita adalah muslimah, kita adalah seorang akhwat, ada langkah yang terbatas, ada fitnah yang harus dijaga. Dan malam adalah tirai saat kita harus kembali ke peraduan.

Diary Aisyah, 16 April 2004

Dii, ade makin sulit diatur. Hari ini ibu menegurku “Aisyah, anak orang lain begitu bersemangatnya Ais bina, adik sendiri…?? Aisyah, kapan Ais ada waktu untuk mentausiyahi Ibu, kapan Ais ada waktu untuk mengantar bapak ke dokter? Nak, disini ada ladang dakwah yang begitu besar menantimu. Ibu faham semua demi kebaikan, namun bukankah tugas Ais pula untuk menjaga keluarga Ais dari api neraka???” Meski dengan suara yang begitu lembut, seolah ada sesuatu yang mengiris tajam hatiku. Sungguh menuncleb Dii…. Aku seolah dipukul dengan begitu keras.

Berapa banyak waktuku yang kuisi dengan dakwah d ikeluargaku? Berapa banyak dalam satu bulan aku sibuk syuro (minimal dengan diriku sendiri) strategi dakwah keluarga? Berapa banyak waktuku tuk fahamkan keluargaku akan nikmat dakwah ini? Berapa banyak dakwah fardhiyah ku pada adikku? Dan aku mengaku da’i. Namun aku melalaikan bidadariku, melupakan orang-orang terdekat yang aku cintai. Dii, sungguh jauh dilubuk hatiku, aku berharap kelak mereka menjadi rijal-rijal dakwah ini. Jika tidak dimulai dari hari ini, kapankah aku membentuk keshalihan jama’i dirumahku sendiri? Kapankah aku menjadikan rumah ini baiti jannati, markas jihadku, dan tempat pulang terbaikku ?

Aktivis vs Keluarga

Ada sebuah kisah yang begitu menohokku ukhti. Kisah seorang anak kecil yang menelepon ummi dan abinya yang sedang sibuk syuro. “ Umi pulang, kalau ngak kaka bunuh ade.’ Astagfirullah entah apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kisah lain menceritakan keretakan rumah tangga ikhwan akhwat karena sang ummi terlalu sering berada diluar rumah dan melalaikan kewajiban rumah tangganya. Ternyata titik permasalahannya ada pada minimnya komunikasi.Masing-masing merasa benar ( bahkan pada pasangan ikhwan akhwat yang notabene keluarga da’wah ).Ukhti, aku selalu punya cita keluargaku adalah baiti jannatiku. Keluargaku bukanlah semata keluarga saat aku menikah, namun saat aku menjadi anakpun cita itu begitu besar dalam benakku. Itulah salah satu alasan aku selalu membawa ibuku dalam aksi, kampanye, syuro kewilayahan, bahkan acara DS. Mungkin terkesan aneh, tapi aku ingin ibuku faham betul perjuangan yang sedang kujalani. Meski protes keras atas minimnya perhatianku, kesibukanku, dan kekhawatirannya atas kesehatanku…ibuku faham betul perjuangan ini. Meski melalui perjalanan panjang alhamdulillah akhirnya diusianya yang kepala lima, ibu menjadi bagian dari kader da’wah dan tarbiyah.

Ukhti, aku tahu tak mudah. Aku melalui bertahun-tahun perjalanan untuk minimal meluruskan pemahaman keluarga intiku. Dan perjuangan itu masih terus berlangsung sampai akhir kehidupan kita kelak. Berat, namun ukhti fillah mereka adalah amanah kita, bahkan amanah yang paling berat. Relakah kita melihat ibu, ayah,kakak dan adik kita menjadi bahan baku api neraka.Naudzubillah.Maka seharusnya tidak ada organisasi vs keluarga, yang ada adalah keluarga para aktivis yang bak baiti jannati.

Ukhti fillah, mujahidah da’wah, bidadari surgaku…sungguh aku tahu betapa indahnya perjalanan da’wah ini dengan mujahidah-mujahidah sepertimu. Saat kita meneken kontrak jual beli ini, saat itu kita telah menyiapkan diri menghadapi berbagai tuntutan dari berbagai pihak, saat itu pula kita menyiapkan diri untuk siap menanggung beban yang jauh lebih besar dari orang biasa, saat itulah kita berjanji senantiasa belajar dan berjuang untuk setegar Khodijah, secerdas Aisyah, sedermawan Zainab, setangguh Fatimah, seberani Nusaibah dan sesabar Ummu sulaim.Karena kau ukhti mujahidah….karena kau bidadari surga. Maka jangan pernah berhenti untuk terus memperbaiki diri, menjadi amanah terindah bagi da’wah ini dan bagi semua orang yang mencintaimu. Bidadari, teruslah bergerak….tak kenal henti. Jadilah bidadari dengan sayap terindah.

Azsya

This article special for Muku. Sungguh, teramat beruntung seorang kakak memiliki seorang adik seperti Muku. Dan sungguh teramat beruntung seorang Muku memiliki kakak seperti kakak Muku. Lihatlah lebih dekat, bicaralah dengan bahasa hati dan cinta. Jika kau sayang maka sampaikan padanya, ingatlah dalam doa malam Muku, ingatkan dalam tausiyah Muku, ikhlaskan bila masih banyak hal yang belum sesuai dengan keinginan. Semoga Allah menjadikan Muku and sister as a tomadachi jannah ( teman di surga ). Coz u love, jadilah mujahidnya…

VII

KEMANA PERGI BIDADARI?

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Kampus ini memiliki 800 orang aktivis dakwah kampus (ADK). Bayangkan, bukankah ini jumlah yang sangat luar biasa? Kuantitas yang mungkin membuat bangga. Di sebuah lembaga pendidikan ternama, tempat orang-orang cerdas menuntut ilmu. Jumlah yang fantastis. Dan bidadari, kau pastilah salah satu dari mereka. Namun, entah mengapa di ladang amal tak kulihat kepak sayapmu. Entah mengapa di medan jihad hanya segelintir bidadari yang melaju di baris terdepan. Berdarah-darah, dan sangat kesepian. Mereka sendirian di tengah banyak bidadari. Ukhti, mujahidah, bidadari sholehah, kemana engkau pergi?

“Hampir datang masanya umat-umat lain memperebutkan kalian sebagaimana orang-orang yang rakus memperebutkan sebuah hidangan. Para sahabat bertanya ”Adakah jumlah kita sedikit pada waktu itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak. Bahkan kamu banyak. Tetapi kalian seperti buih yang terapung. Allah menarik rasa takut kepadamu dari dada musuh-musuhmu dan akan menanamkan dihatimu “Al-Wahn”.” Mereka bertanya, “Apa al-Wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (H.R.Ahmad dan Abu Dawud).

Bidadari, dalam malam-malam sunyiku aku senantiasa cemas dan takut kita tak lebih generasi buih. Banyak namun tidak punya kekuatan apapun. Tak punya kekuatan untuk sekedar melawan arus atau menghadang gelombang. Menjadi buih adalah menjadi bukan siapa-siapa, buih hanya akan mengikuti kemana air mengalir dan ombak menghempas. Generasi Buih, phuih, betapa sering kita tertipu dengan jumlah yang banyak. Betapa sering kita bangga dengan kuantitas. Bidadari andai kita mau berkaca, sedikit berintropeksi, berapa kali dalam satu minggu ini kita menghadiri syuro? Berapa kali kita memenuhi janji pada saudara kita? Berapa kali kita hadir dalam kajian ADK? Berapa kali kita taat terhadap qiyadah kita? Amal apa yang sudah kita lakukan minggu ini? Berapa banyak membawa kemaslahatan bagi umat?

Bidadari mungkin kau bisa membantuku menjawab, satu pertanyaan klasik, “katanya ikhwah banyak, tapi kemana? Kenapa amanah selalu jatuh pada orang yang sama???” Bertahun-tahun pertanyaan itu selalu kudengar. Apakah rangkaian waktu tak membuat kita makin cerdas menemukan jawabnya? Entahlah ukhti, aku sendiri pun kerap tak tahu jawabnya. Bidadari, kemanakah engkau pergi ?

Aku teringat Perang Badar Kubro, bulan Ramadhan Tahun 2 Hijriyah. Saat 319 orang mampu mengalahkan seribu orang pasukan lengkap dengan kondisi mental tidak siap untuk berperang. Namun bidadari, jumlah ternyata tak menjadi jaminan. Senandung Para Mujahid, tafsir surat Al-Anfal menggambarkan hal tersebut dengan begitu jelas ”…dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfal: 10). Para sahabat dapat mengetahui dengan jelas bahwa kemenangan dapat tercapai bukan karena jumlah pasukan yang banyak, persenjataan yang lengkap, dana peperangan yang melimpah, atau perbekalan yang cukup. Namun kemenangan amat ditentukan oleh faktor menyatunya hati dengan kekuatan Allah yang takkan dapat dihadapi oleh kekuatan manusia manapun. Sungguh luar biasa.

Bidadari, sudahkah kita menjadi barisan orang yang sedikit itu? Yang memiliki tsiqohbillah yang begitu dahsyat hingga mampu mengalahkan kekuatan dari manusia serta makar apapun. Ataukah kita hanya puas duduk dibangku penonton, melihat saudara kita berjuang, sedikit peduli atau sama sekali tidak mau peduli? Ataukah kita hanya disibukkan dengan akademis kita, mengorbankan saudara-saudara kita untuk memegang amanah berlipat ganda di pundaknya karena distribusi amanah yang tidak merata? Ah, bidadari ternyata betapa sering kita dzalim pada saudara kita… Pernahkah kita bertanya, “adakah yang bisa saya bantu ukhti?” Atau mungkin kita yang sering kali mengecewakannya karena SMS ta’limatnya seringkali tak ubah angin lalu. Bidadari, katanya kita aktivis, tapi………….. Entahlah, kemana engkau pergi?

Bidadari, aku faham tak mungkin menyalahkan siapapun, karena kesalahan bisa muncul dari sudut mana saja dari para praktisi dakwah. Namun menjadikannya sebuah keluh pun takkan menjadi satu kebaikan yang dapat menjadi solusi. Aku hanya ingin berbagi denganmu, saat berhadapan dengan kenyataan dari 800 ADK hanya satu per limanya saja yang punya militansi dan amal nyata di medan jihad. Akan aku biarkan artikel ini sampai pada titik intropeksi kita. Kemanakah kita pergi bidadari? Jangan-jangan kita merasa sudah kemana-mana, padahal belum selangkah pun kita beranjak dari tempat kita. Ukhti, sungguh ironis bila saudara kita yang memikul beban amanah begitu besar akhirnya lepas dari barisan karena tak sanggup lagi menanggungnya. Kita semua akan dimintai pertanggungjawaban atas dirinya, kemana kita saat saudara kita membutuhkan bantuan kita? Kemana kita saat akademis saudara kita merosot karena beban dakwah yang dipikulnya? Kemana kita saat keputusan qiyadah untuk menempatkan orang-orang soleh di kepemimpinan harus diperjuangkan? Kemana kita, yang kerap bangga dengan label aktivis kita, namun dengan kontribusi yang teramat minim? Ya ukhti, kemanakah kita akan melangkah jika tidak di jalan-Nya? Kemanakah kita akan berjuang, jika tidak di medan jihad-Nya?

Bidadari, sungguh kekuatanmu lebih besar dari yang kau pikirkan. Namun sekali-kali bukan dakwah ini yang membutuhkan kita, tapi kita yang membutuhkan dakwah. Kereta dakwah ini akan terus melaju dengan atau tanpa kita. Dien ini, dakwah ini, bukan waktu sisa kita. Tapi justru kehidupan kita…

Bidadari, semoga saja waktu kita yang sedikit itu dapat menjadi kifarat bagi kita. Menjadi berkah dan kemaslahatan bagi umat ini. Sungguh aku berharap bisa bersamamu mencari solusi atau semua kondisi klasik ini. Berjuang bersamamu adalah keindahan dan kebahagiaan tersendiri. Bidadari, tanpamu 100 tak lagi seratus, tapi hanya 99 saja. Tanpamu, bagaikan tuts keyboard yang rusak di salah satu hurufnya. Kehadiranmu menjadi sangat penting, andai kau faham visi perjuangan ini.

Bidadari, semoga kau tak lagi pergi, kecuali untuk perjalanan dakwahmu… Sungguh berjuang bersamamu adalah masa-masa luar biasa. Saat kepak sayapmu memberikan energi besar dalam perjuangan ini. Saat senyum dan hadirmu meluluhkan segala keluh dalam lisan ini. Saat gerak langkahmu menjadi genderang jihad tuk senantiasa bergerak ke medan jihad. Maka ukhti bidadari, kemana engkau pergi???

*****

Bidadari, semoga kita tak menjadi generasi buih… Ayunkanlah langkahmu, bergeraklah, karena diam dapat mematikan...

Azsya

Yang senantiasa bertanya, kemana pergi bidadari?

VIII

TRAGEDI CINTA

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Cinta….

Bara nyalanya berkobar

Menembus gelapnya ruang

Menghentak gelora jiwa

Menerangi….

Atau terbakar sendiri

Hampa, sunyi, riang, bahagia, rindu, sepi, ceria, sedih, sebagian warna-warni rasa cinta. Tak sedikit yang rela mati juga atas nama cinta. Setantron zaman ini sudah mengajarkan dengan baik makna cinta fana yang memabukkan. Lagi-lagi tentang cinta dan lagi-lagi cinta membuat seseorang kehilangan akal sehatnya, bahkan di kalangan para aktivis dakwah. Layaknya perjalanan cinta Laila Majnun yang fenomenal. Kisah tragis sepasang kekasih yang terpisahkan dan harus mengakhiri cintanya dengan kematian layaknya Romeo dan Juliet. Padahal kisah yang berlatar belakang kebudayaan timur tengah ini mengisahkan bahwa keduanya bukan orang yang buta akan cinta pada Rabbnya. Tapi itulah cinta…. Sometimes its so blind.

Entahlah bidadari, namun sebuah kesadaran menyeruak menghentak kepolosanku akhir-akhir ini. Sebuah pukulan keras yang menyadarkanku, ukh wake up…. Zaman ini sudah kian tua dan berbeda, jangan anti autis dengan dunia idealismu sendiri. Dan aku senantiasa mencari jawaban pasti, dari kisahku sendiri. Mencoba tegak berdiri meski kerap terombang-ambing dalam sepi. Kala menempuh sekian perjalanan hidupku, kala menemani perjalanan bidadari-bidadari kecilku, mad’u-ku, sahabat-sahabatku, membawaku memahami sebuah….., tragedi cinta.

Jika thumuhat serial cinta Anis Matta kerap kali membakar jiwa para pecinta dengan hamasah akan mahabbatullah, artikel ini hanyalah sebuah refleksi akan jalan kelam seorang pecinta.

Love is blind… Ya, Azzam sangat sadar akan hal itu. Dua tahun bukan kisaran waktu yang singkat, saat seorang adik tersayangku mengalami teror panjang seorang akhwat mantan aktivis tarbiyah. Teror menakutkan itu berawal dari “Teteh yang baik tolong kenalkan saya dengan ikhwan itu ya teh. Sebenarnya telah lama saya mengagumi dia. Teteh maukan membantu saya? Insya Allah ini bagian dari ikhtiar saya mencari pasangan yang sholeh”. Lama-lama kata-kata manis berubah menjadi cacian, hinaan, dan makian kala cintanya bertepuk sebelah tangan. Ironis, sang ikhwan menyukai akhwat yang menjadi perantaranya. Kebenciannya kian menjadi. Tarbiyahnya menjadi angin lalu. Hari-harinya dipenuhi keinginan balas dendam, bahkan pada hari pernikahan adikku dengan ikhwan lain yang bukan ikhwan pujaannya. Nafsunya meradang, teror ancaman untuk menghancurkan pernikahan suci itu tidak kenal lelah dan henti. Dan hampir membuat sebagian besar panitia mengelus dada menahan marah.

Dulu akhwat ini seorang aktivis tarbiyah yang punya komitmen dakwah… Kini rasanya ia menjelma menjadi seorang wanita asing yang kesepian dan kehilangan jati diri.

Cinta dan aktivis dakwah…..

Mungkin kita harus banyak merenung, kala perjalanan cinta tak sedikit memakan korban. Kasus-kasus VMJ dan cerita cinta antar aktivis kian menumpuk di meja kaderisasi dan para murobbi. Menjadi PR yang harus senantiasa dibenahi, di-ilaj, dan diselesaikan dengan bijak. Seorang ikhwan aktivis tertangkap basah menghabiskan sebagian malamnya dikostan seorang aktivis akhwat. Berduaan. Alasannya ada amanah yang harus diselesaikan dan tidak ada waktu lagi. Sepasang aktivis ditemukan saling berboncengan, meski dengan malu-malu, pada malam hari. Alasannya dari pada naik ojek, mending diantar jemput ikhwan. Padahal taksi masih bertebaran dimalam hari, lagian……, “ukh, anti kemana malam-malam???”

Kisah lain, bermula dari sekedar SMS perhatian. Akhirnya menjadi kebiasaan yang tidak terbendung. Awalnya hanya sekedar saling memotivasi, lambat laun mulai saling berbagi hati. Menjadikannya sandaran hati, dan merindukan “tausiyah” pelipur jiwa. Ah…, celah itu begitu sempit, namun tak urung menjadi celah bagi setan. Terkadang satu amanah, satu departemen, satu aktivitas, dan pertemuan yang intens menjadikan awal pertautan hati. Sungguh, andai tak pandai menjaga diri dan hati, berbagai fitnah menantang kita semua para aktivis dakwah.

Tak sedikit yang insilah dari jalan ini, juga semata-mata karena cinta. Ada banyak kasus yang harus ditangani, juga bermuara dari satu kata…. Cinta. Hmh…, benarkah ini cinta yang selama ini kita cari? Benarkah ini muara akhir rasa cinta dalam diri kita?

Menembus ruang dan batas

Menggelora, meradang dan mematikan

Kala cinta merasuk sukma

Membekukan akal,menghempas rasa

Jika tidak karena-Nya

Kemana kan dibawa lari sekeping hati pecinta???

Banyak kasus VMJ yang tak sedikit mendapat satu solusi, ya sudah nikahkan saja, daripada menjadi fitnah. Ya sudah, diproses saja melalui jalurnya meski sebagian murobbi angkat tangan dalam hal ini kala proses ilajnya tak kunjung menemukan titik terang. Benarkah ini sebuah solusi? Atau hanya pembenaran yang tepat atas sebuah kehilafan….? Entahlah, semua teraduk dalam satu adonan yang terkadang tak jua kumengerti. Meski di satu sisi tak sedikit para murobbi yang cukup tegas bahkan tak segan memberikan iqob yang cukup keras. Namun terkadang, kala cinta membutakan, ia tak mampu melihat cahaya terang. ”Sudahlah, daripada mendekati zina, sudahlah…..” Tolerasi-toleransi yang hadir pada masa-masa ilaj akan riak-riak cinta antar aktivis. Inilah cinta, Uz…

Geloranya tak terbendung

Hentakannya mengumbar asa

Membutakan mata hati

Meredupkan cahaya diri

Kala cinta berlari

Menjauh dari cinta Ilahi……

Ada banyak kisah cinta para aktivis. Ada yang tak mampu menahan rasa, hingga tersampaikanlah rasanya pada berbagai pihak. Lidah tak bertulang, berita terus tersebar. Ah…, semoga tak sampai di telinga sang pujaan. Ada yang sedih karena tak kuasa menahan rasa cinta. Meski tak terbalaskan, kesetiaannya sulit dipatahkan. Saudara-saudaranya hanya bisa mengelus dada, speechless… Mungkin akan berakhir hingga salah satu dari mereka menggenapkan diennya. Penantian, patah hati, angan-angan, dan kesunyian…. Tragedi cinta kembali menorehkan catatan kelam.

Namun bidadari, tak semua berakhir kelam. Kala sepasang aktivis berusaha meredam semua rasa yang bergejolak di dadanya. Jihadnya adalah menjaga lisannya dari mengungkapkan rasa itu pada siapapun. Disimpannya rasa itu dalam hatinya, senantiasa dibersihkannya dari dalam hatinya, diupayakan untuk ia sembuhkan, meski berat terasa. Ia begitu tsiqoh cinta murninya hanya untuk satu-satunya pendamping hidup sejatinya kelak.

Kala seorang ikhwan bersegara menggenapkan diennya untuk mencegah fitnah yang kian menghampirinya. Kala para aktivis kian pandai berghodul bashar, menjaga hati dan mengendalikan riak-riak cinta yang secara fitrah hadir menggoda. Cinta sejatinya masih menjadi sandaran utama. Adakah Allah SWT ridha akan prosesnya???

Mungkin ini salah satu hikmah yang ada dibalik kisah Fatimah r.a dan Ali bin Abi Thalib. Selepas Rasulullah menikahkan mereka, terkuaklah satu pernyataan yang tertulis dalam sirah bahwa ada satu ikhwan yang selama ini Fatimah kagumi, dan ikhwan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Ternyata rasa yang tersembunyi begitu rapi itu juga dirasakan oleh Ali bin Abi Thalib, tentang seorang akhwat yang ia kagumi yang kemudian Allah takdirkan menjadi istrinya. Luar biasa, bahkan setan pun tak dapat mengetahui hal itu. Padahal tidak sulit andai Fatimah mau, ia dapat dengan mudah menceritakan perasaannya pada ayahnya yang sangat menyayanginya. Namun karena afifahnya (kesucian dirinya), sepenuh jiwa ia berjihad menahan perasaannya. Demikian pula Ali. Andai Ali mau, dia bisa saja menyampaikan perasaannya pada Fatimah atau menyatakan niat baiknya pada Rasulullah. Namun dia berjihad menjaga rasa itu, kerendahhatiannya membuatnya merasa tak pantas mendampingi seorang wanita ahli surga yang juga putri tercinta Rasulnya. Hingga akhirnya Allah SWT, Rasulullah, dan dakwah islam yang menyatukan mereka berdua. Hingga terkuaklah rasa saling kagum itu selepas ijab kabul. Luar biasa. Andai mereka tidak berjodoh, mungkin kisah ini takkan pernah tertulis dalam sirah. Mereka membawanya dalam sekeping hati yang dalam, yang menjadi rahasia antara mereka dan Rabbnya. Bahwa pernah ada satu kagum yang tak tersampaikan…. Subhanallah.

Bidadari, kemanakah sekeping hati ini akan dibawa berlari…? Perjalanan cahaya ini masih teramat panjang. Pencarian kan Kekasih Sejati, tidak berakhir di pelaminan. Pencarian ini takkan pernah usai sampai maut mempertemukan kita dengan sang Kekasih. Kala Dia menatap kita dengan penuh cinta. Dan kita teramat berbahagia, melebihi kebahagiaan akan surga yang dijanjikan. Kala cinta kita berlabuh pada muara terindah yang abadi antara kita dan Rabb kita….

Inilah cinta

Kala ruh, darah, dan jasad ini

Adalah bukti cinta para pecinta sejati

Layaknya jantung yang terkoyak milik Hamzah bin Abdul Mutthalib

Tubuh yang tercabik berpuluh pedang milik Anas bin Abi Nadr di perang Uhud

Hingga tiada terkenali kecuali dari jarinya yang tersisa

Inilah cinta

Kala maal, jiwa, dan raga

Adalah saksi cinta tak terbantahkan

Cinta Abu Bakar yang tak ragu menginfakkan segala hartanya bagi Islam

Dan mentsiqohkan keluarganya pada Rabb dan Rasul-Nya

Inilah cinta

Kala tetesan peluh, tetesan darah, degupan jantung

Menoreh sejarah sepanjang masa

Cinta seorang Hasan al Banna yang menggelora akan kebangkitan Islam

Tetesan darah yang menjadi saksi jihad, dan sisa detak jantung yang terus menabuhkan genderang jihad hingga detik ini

Kala tak satupun orang yang boleh menolongnya, dan asy syahid Hasan al Banna syahid kala tetes darahnya berakhir

Inilah cinta…….

Cinta yang membuat Khalid bin Walid lebih menyukai malam-malam dingin di medan jihad

Dibandingkan malam-malam hangat bersama istri tercintanya

Inilah cinta….

Yang terlukis dari senyuman indah Sayid Qutb kala kerinduannya bertemu Rabbnya terkabul dari tiang gantungan

Inilah cinta

Kala Nusaibah dan Al Khansa

Rela menginfakkan keluarganya dan berdarah-darah demi menjaga Rasulullah

Ikhwati fillah, inilah cinta….

Cinta yang membuat manusia biasa menjadi manusia-manusia langit

Cinta yang membuat kekasih kita Rasulullah SAW

Di akhir hidupnya terus berkata ummati…ummati…ummati

Inilah cinta yang terang

Cinta yang berbuah jannati

Cinta para pecinta sejati

*****

Azsya

Yang merindu satu cinta yang terang….. Kini hingga akhir masa….

IX

BINTANG DI LANGIT HATIKU

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

“Teh kapan ada waktu, Uli ingin cerita. Lagi futur berat ini. Semuanya terasa hampa. Balas ASAP ya.” ”Hiks… Hiks. Teh Uuuuzzzyyyyy…. Help me. Aku pusing banget sama urusan kampus, kenapa sih kebijakannya seperti ini? Bla..bla…bla… Aku mau ke rumah teteh mau ada yang dibicarakan.” “Teh bisa tolong Ninis ga? Ninis ada masalah, butuh pandangan Teteh. Bisa telepon Ninis nanti malam ?” ”Teh, afwan bentar lagi kan aku lulus. Orang tua sudah mendesak aku untuk segera menikah. Afwan ya Teh, boleh tidak aku minta dicarikan? Targetku kalau bisa pas aku lulus aku sudah menikah, ditunggu ya Teh kabarnya. Jazk.” Aku menghempaskan tubuhku di sofa kesayanganku. Tampak tujuh bintang berputar diatas kepalaku. Bentar ya ukhti fillah, aku ingin rebahan dulu. Ntar SMSnya kubalas.

“Teh Uzy lagi sibuk ya, ko SMSku belum dibalas. Aku ganggu ya?” Nggak, nggak ko, sekejap aku segera menegakkan tubuhku. “Sabar ya ukhti sholehah, afwan baru balas. Iya, tidak mudah memahami segala kebijakan yang ada… Namun sebagai seorang kader, bla..bla..bla…”

Rutinitas ini yang hampir tiap hari menghampiriku. Satu waktu kala imanku terasa ringkih, aku sangat malas berinteraksi dengan Nokia kesayanganku. Pengen istirahat. Males ngetik. Saat egoku meradang, aku berujar dalam hati. Aku juga punya masalah ukh, aku juga ingin bisa bercerita sepertimu. Tapi ternyata itu tidak mudah. Meski ada sebagian orang menjadi korban curahan hatiku. Sebentar saja ya akhwat, aku ingin menenangkan diri.

Doaku tak terkabul, semakin aku ingin istirahat semakin banyak kesempatan beramal yang menghadangku. Hingga satu waktu, kala satu minggu dalam hidupku SMS yang muncul dapat dihitung dengan jari tanganku. Hmh…, pada kemana, masa ga ada yang kangen sama Uz? Ayo dong curhat…

Dan aku kemudian tersenyum dan tertawa sendiri. Bidadari, saat aku menulis artikel ini aku bukan sedang mengeluh atau merasa jenuh. Aku justru ingin berterimakasih padamu. Perjalanan waktu dan dakwah ini mengajarkan padaku, ta’liful qulub bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Tapi ia harus ditumbuhkan dan dirawat layaknya merawat bunga dan tumbuhan dengan segala keindahannya. Cinta takkan hadir dengan selalu menuntut, tapi kan muncul dalam kalbu kala kita senantiasa belajar untuk memberi.

Malam ini, kala langit begitu luar bisa dengan kerlap kerlip bintangnya aku teringat padamu bidadari-bidadariku. Menjadi murabbi, adalah menjadi walid (orang tua), menjadi syekh (guru), menjadi sahabat, dan menjadi qiyadah (pemimpin). Sungguh keempat peran ini hanya akan kita miliki saat kita menjadi mentor atau murabbi. Online 24 hour untuk melayani umat, dan untuk memberikan yang terbaik bagi dakwah ini. Bukankah ini ladang yang luar biasa? Dan aku kembali mentafakuri bintang-bintang. Bintang di ujung sana mengingatkanku akan seorang Hamas, kerlipnya begitu ceria. Terkadang bergerak-gerak mempesona. Kaplingmu di ujung tenggara, kau selalu punya satu ruang istimewa di langit sana. Ah…, ada bintang jatuh, kali ini mengingatkanku akan adikku Semeru Asa. Bintang jatuh membawa harapan. Meski tak sering hadir, namun keberadaannya begitu dinanti dan istimewa.

Ada berjuta bintang di langit sana, bahkan lebih. Mempesona dalam rasinya yang luar biasa. Masing-masing begitu istimewa, memancarkan cahaya-cahayanya sendiri. Begitu juga dirimu bidadari, ada banyak yang hadir dihatiku. Mewarnai langkah-langkahku, mengisi hari-hariku, menoreh catatan-catatan dalam benakku, dan memberiku kenangan-kenangan tak terlupa. Masing-masing mengisi kapling hatiku dengan istimewa.

Sejenak, pejamkanlah matamu. Ingatlah wajah-wajah binaan kita, adik-adik kita, sahabat-sahabat kita. Ingatlah keceriaan mereka, suka duka yang terlewati bersama mereka, gelombang hamasah dan cinta yang berlarian saat bersama mereka. Hadirkanlah senyuman mereka di benakmu. Teriakan takbir mereka, curhatan-curhatan mereka, tawa dan tangisan mereka. Bukankah mereka sangat berarti bagimu, seperti juga dirimu bagi mereka? Maka adakah keluh yang masih hadir akan mereka?

Aku tahu kau kan menjawab tidak. Seperti apapun mereka (adik-adik, sahabat, saudara seperjuangan kita), mereka tetaplah anugerah terindah yang Allah berikan pada kita. Mereka tetaplah bidadari-bidadari kecil kita, mujahidah-mujahidah sahabat kita. Masing-masing begitu istimewa. Kehadiran mereka menjadikan kehadiran kita istimewa hingga detik ini. Kita dan mereka melukis warna-warna terindah dalam lukisan kehidupan kita. Meski dalam abstraknya, meski dalam naturalnya, meski dalam ragam bentuk lainnya.

SMS-SMS ini tidak akan ada akhirnya. Dan kini aku menghadapinya dengan senyuman terbaikku. Aku bersyukur akan tsiqohmu padaku dengan berbagi rasa dan kesempatan beramal denganku, semoga menjadi keberkahan. Maka takkan kusiakan, karena cinta dan ta’liful qulub adalah rangkaian memberi yang tanpa batas. Bukankah Muhajirin dan Anshar mengajarkan kita akan hal itu? Tentang itsar, tentang ikatan aqidah yang melebihi ikatan persaudaraan satu darah.

Malam kian gelap kala kuakhiri tafakurku, tapi bintang-bintang masih berkerlip dengan indah menghiasi langit. Seperti juga dirimu. Yang senantiasa mengisi hatiku, yang selalu melecut semangat jihadku, yang senantiasa muncul dalam doa-doa Robithohku. Bidadari, terima kasih, untuk selalu menjadi bintang di langit hatiku.

Abu Hurairah r.a meriwayatkan dari nabi SAW, beliau bersabda, ”Barangsiapa melepaskan salah satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melepaskan salah satu kesusahan di hari kiamat darinya. Barang siapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup aib seorang muslim,maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya bersama-sama, kecuali bahwa ketentraman akan turun kepada mereka, rahmat (Allah) memenuhi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa cacat amalnya maka nasabnya tidak akan menyempurnakannya.” (H.R.Imam Muslim).

*****

Untuk bintang-bintang di langit hatiku, marilah berfastabiqul khoirot untuk saling meringankan beban. Menguatkan azzam, mendukung jihad dan keimanan. Jika kau berkenan, berbagilah dengan saudaramu, kala kesendirian menjadi kesedihan bagimu. Kita punya Allah SWT, dan kau selalu punya diriku yang akan menangis bersamamu kala sedihmu, bahagia bersamamu kala senangmu. Karena kau istimewa bagiku. Uhibbukum fillah.

Azsya

X

TOMODACHI JANNAH

(Diterjemahkan secara paksa : Teman-teman Surga)

Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa

Sahabat….

Andai kubisa

Ku ingin selalu ada di dekatmu

Mendampingimu meraih semua asa

Menjadi sahabat terbaikmu

Dalam suka dan duka

Andai aku bisa…..

“Bidadari mujahidah dakwah, kaifa halukhi wa imanuki? Semoga sayapmu mengembang indah hari ini. Aku kangen banget, bagaimana kabar aktivitas ukhti sayang? Semoga Allah mudahkan langkah jihadmu.“ Sebuah SMS yang kulayangkan pada beberapa akhwat pagi ini. Sebuah SMS balasan muncul. “Uzy, ada apa nih menyapa aku dengan begitu ceria pagi ini? Long time no see. Hampir dua tahun ya…. Aku, suami, dan Salma dalam keadaan baik. Doakan kami selalu ya.” Aku tersenyum, ya.., hampir dua tahun sejak kita di wisuda. Pooh (nama panggilan sayangnya), ingat tidak sembilan tahun yang lalu saat pertama kali kita berjumpa? Kau masih belum berjilbab, namun semangat dakwahmu luar biasa. Perjalanan hidayah membawa kita pada satu muara yang sangat indah, iman dan islam. Sejak saat itu aku selalu melihatmu begitu bersemangat dan ceria. Senyummu tak pernah lekang… Sungguh, masih sangat kuingat. Pooh, aku kangen padamu.

Sahabat

Andai ku bisa

Menjadi sandaran hatimu

Kala tangismu menderai

Menjadi curahan jiwamu

Kala kemelut melanda

Sungguh andai aku bisa…

Bidadari, aku selalu tersenyum kala mengingat saat Hamas diawal tahun perjalanan SMAnya bertengkar dengan Semeru Asa. Ada air mata yang mengalir, kecemburuan yang menyeruak, dan marah yang meledak. Dan ada Riez yang menjadi pemicu didalamnya. Tapi waktu mengajarkan segalanya, perjalanan panjang ini membawa keduanya menemukan sahabat-sahabat terbaiknya. Pluto dengan pemikirannya yang mendalam, militansi dakwah, dan juga sensitifitas yang teramat khas. Kyoku yang selalu tenang, ceria, profesional, dan sedikit misterius. Riez yang supel, easy going, menenangkan, dan sedikit cool terkadang. Rin yang selalu ceria, polos, easy going, plus senyum manisnya yang selalu menghibur, “udah jangan sedih….” katanya. Dan sahabat-sahabat lainnya yang mulai bergabung, masing-masing begitu istimewa. Dua tahun bukan waktu yang singkat, untuk bertahan, bersabar dan bersyukur. Untuk beradaptasi, memahami satu sama lain. Ada tawa, ada banyak air mata, ada futur dan hamasah yang hadir silih berganti, serta ratusan kisah yang tercatat dalam kenangan tak terlupa. Tentang sahabat….

Sahabat

Andai ku bisa

Mendengarkan semua kisahmu

Menampung semua keluhmu

Disampingmu selalu

Bidadari, mencari sahabat sejati kadang bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Begitu sulit dan penuh perjuangan. Banyak teman yang ada di samping kita kala bahagia melanda, namun sedikit di antaranya yang mau menemani kita dalam duka. Sahabat sejati, hanya ada ketika hati kita terpaut pada cinta yang sama. Mahabbatullah. Cinta itulah yang mengikatkan hati kita. Sungguh andai kata Allah SWT tak berkehendak, ikatan itu tak mungkin terjadi. Meski kita beli dengan bumi dan isinya. Maka kali ini, lihatlah sekelilingmu, ingatlah wajah-wajah mereka kala kau lantunkan doamu. Salah satunya atau lebih, pasti istimewa di hatimu…. Kenanglah ia, kebaikan-kebaikannya, persahabatan yang ditawarkannya, cintanya, tausiyah-tausiyahnya, kemarahannya… Bidadari, pernahkah kau bersyukur karena Allah SWT pertemukan kau dengannya?

Sahabat

Meski menjadi bagian dari golongan Anshor adalah azzamku

Tuk cintaimu sama seperti ku cinta diriku

Bahkan lebih dari itu

Meski kebahagiaanmu adalah

Kebahagiaanku yang selalu terpanjat dalam doaku

Meski asaku pun tinggi sepertimu

Tuk masuki jannah-Nya bersamamu….

Tapi sungguh aku tak bisa

Tuk selalu disampingmu

Aku hanyalah hamba-Nya yang lemah

Sama sepertimu

Bidadari, sejenak marilah kita putar slide-slide persahabatan kita. Kala tuntutan dan harapan kita yang begitu besar tercurah pada sahabat-sahabat kita. Kala kesedihan melanda, emosi kita meninggi, dan mulai dengan satu tanya klasik, sahabat kau ada dimana? Tak ada yang mau peduli terhadap saya, mereka tidak membutuhkan saya. Dan segala kekecewaan yang terkuak. Namun bidadari, andai kali ini pertanyaan-pertanyaan ini mengaju pada kita… Apakah yang akan kita jawab? Kemanakah kita saat sahabat kita futur? Kemanakah kita saat permasalah-permasalahan menjeratnya dalam kebingungan? Dimanakah kita saat ia butuh seseorang untuk berbagi? Sudahkan kita tahu kondisi keluarganya? Sudahkan kita menjadi teman berbaginya? Sudahkah kita menangis bersamanya dan menanggung bebannya? Sudahkan kita memberinya hal terbaik milik kita yang disukainya? Sudahkah kita memperhatikannya, mengingatkannya agar senantiasa dalam kebaikan dan keistiqomahan, dan mendoakannya secara khusus satu demi satu? Sudahkah ukhti??? Bahkan untuk satu hal yang Rasulullah ajarkan, sudahkah kita sampaikan cinta kita pada mereka??? Jika belum, pantaskah kita menuntut sahabat-sahabat kita…???

Bidadari sahabatku

Asa ini takkan pernah pudar

Tuk menjadi yang terbaik bagimu….

Namun, andai satu waktu

Ku tak di sisimu…

Mendengarkanmu, menguatkanmu, dan menghapus air matamu

Jangan kau kecewa padaku…

Bidadari, menjadi sahabat sejati adalah sebuah ladang amal dan jihad yang tak mudah. Bersabar dengannya, mensyukuri hari-hari bersamanya, mencintainya, menjadi pendengar setianya, dan senantiasa berhusnudzon padanya adalah rangkaian memberi yang hanya bisa dilakukan kala berbalut keikhlasan. Sudahkah kita menjadi sahabat yang seperti itu? Ikatan hati adalah reward luar biasa dari ukhuwah. Namun kerap ukhuwah islamiyah hanyalah menjadi orbit khayalan kita yang terbatas pada teoritis yang indah. Bahkan untuk sekedar senyum terindah dan sapa terbaik… Hal ini menjadi sesuatu yang mahal di zaman ini. Terlebih saat harus berkorban harta, atau bahkan berkorban nyawa?? Ah…, dimanakah bisa ku temukan seorang sahabat sejati?? Itukah yang ada dalam benakmu kini? Pernahkah terlintas dalam benakmu, bahwa bisa jadi kita belum akan bertemu dengannya, tapi bukankah kita selalu bisa menjadi sahabat terbaik bagi orang lain? Maka bayangkan ya ukhti, andai kata semua orang berlomba-lomba memberi, mencinta, dan itsar…. Luar biasa, quwwatu ukhuwah itu tidak hanya akan berada dalam orbit khayal kita. Ia akan menjadi quwwatu wihdah (kekuatan persatuan), layaknya Muhajirin dan Anshar. Dan kebangkitan itu ada dipelupuk mata…. Subhanallah.

Bidadari, semoga kita adalah sahabat sejati. Layaknya persahabatan para sahabat yang mengantar mereka menuju kesyahidan. Pertempuran sengit di bumi Balqa’ di Syam menjadi saksi pertempuran tiga orang sahabat melawan tentara Romawi di perang Muktah. Pertempuran melawan 200.000 tentara Romawi, pertempuran yang tidak seimbang secara kuantitas. Pemimpin pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja’far bin Abi Thalib hingga ia memperoleh syahidnya dengan penuh kebesaran, dan menyusul pula setelah itu Abdullah bin Rawahah. Tahukah ukhti, kala ia memungut panji itu dari tangan Ja’far, hampir-hampir pasukan Islam yang kecil itu tersapu musuh yang membanjir laksana air bah. Namun hilanglah keraguan dalam hati Abdullah bin Rawahah kala melihat kesyahidan kedua sahabatnya… Hamasahnya menggelora, seraya berseru :“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga. Tapi kenapa kulihat, engkau menolak surga? Wahai diri, jika kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati. Inilah kematian sejati yang engkau idam-idamkan selama ini. Jika engkau ikuti keduanya (Za’id dan Ja’far), itulah kesatria sejati…” Ia maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya, yakin bahwa ia dipimpin oleh Allah hingga syahidnya. Rasulullah SAW menitikkan air mata saat bashirahnya mengetahui kesyahidan sahabat-sahabat tercintanya. Namun bidadari, kemudian kesedihannya hilang, matanya bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman, dan kerinduan, lalu berkata : “Mereka bertiga diangkat ke tempatku di surga…”

Sahabat…..

Perjalanan mana lagi yang lebih mulia….

Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia….

Mereka maju ke medan laga bersama-sama

Dan mereka naik ke surga bersama-sama pula…

Mereka memasuki surga bersama-sama…… Tidakkah kita iri bidadari? Tidakkah kita ingin menjadi seperti mereka? Menjadi sahabat-sahabat seperjuangan yang bersama menegakkan al haq dan kemudian bertempur di jalan-Nya serta memasuki jannah-Nya bersama-sama.

Bidadari, quwwatu ukhuwah adalah pondasi kebangkitan Islam. Marilah memulainya dari persahabatan kita. Kuatkan azzam kita tuk menjadi sahabat-sahabat terbaik yang pernah dimiliki sahabat kita. Hampir dua tahun aku berpisah dari sahabat-sahabat dakwahku semasa kuliah, aku senantiasa menunggu satu waktu mereka mengingatku dan mengabariku. Namun kemudian aku tersadar, aku tak boleh hanya menunggu… Kini menjadi agenda rutinku menyambung kembali silaturahmi yang pernah ada. Takkan kubiarkan jarak, waktu, interaksi yang minim menghambatku tuk sampaikan semangat jihadku, perhatianku, dan tuk nyatakan cintaku pada mereka.

Bidadari, sejenak kita tundukkan hati-hati kita dan bayangkanlah wajah sahabat-sahabat kita. Di medan jihad DS ini, di medan jihad kampus, di medan jihad siyasi, di medan jihad sya’bi, dan di seluruh penjuru bumi Allah. Berdoalah akan keistiqomahan bagi semuanya. Karena tanpa ukhti, dunia ini terasa sepi. Tanpa ukhti, bagaikan simfoni sumbang yang kehilangan satu nada. Dan tanpa ukhti, Newga tak lagi Newga, Itsar tak lagi Itsar. Akan ada yang hilang, akan ada satu pojok yang kosong, akan ada kerinduan yang mendalam. Seperti saat kami kehilangan seorang sahabat Alga terbaik kami, semoga Allah mengistiqomahkanmu. Semua tidak akan sama, karena kau adalah warna yang tak tergantikan. Hanya ada satu buhul yang mengikatkan hati kita, kecintaan kita pada Allah. Iman dan Islam. Ya Rabb, kuatkanlah ikatannya… Sahabat, jika ada satu pintaku padamu, sertakanlah aku di dalam doa-doamu. Sungguh doamu jauh lebih berharga dari emas permata manapun. Mungkin satu waktu nanti ku tak lagi di sisimu secara fisik, namun yakinlah hati ini kan selalu bersamamu, menemani langkah-langkah jihadmu.

Sahabat….

Aku ingin kau tahu

Kita selalu punya sahabat terbaik

Kita selalu punya Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar

Yang kan selalu di sampingmu

Begitu dekat, begitu cinta dan sayangnya akan dirimu…

Kala ku tak di sampingmu

La tahzan ya ukhti, janganlah bersedih…..

Bersama iman dan taqwa dalam hatimu

Kau kan selalu mendapatkan-Nya menyambut cintamu dengan sangat

Seperti juga cintaku yang sederhana padamu

Semoga tak kan layu dan usang

Dimakan fananya zaman

Semoga kelak abadi hingga akhir kehidupan kita

Bersamamu… Kita berjalan menuju-Nya

Bersamamu… Tomodachi Jannahku

*****

Untuk sahabat-sahabat terbaik yang takkan pernah tergantikan. Kalian adalah bidadari-bidadariku, kini dan untuk selamanya. Kokohkan perjuangan ini dengan kekuatan ukhuwah dan cinta kita. Uhibbukum fillah ya ukhti mujahidah. Jazakumullah khoir untuk semuanya.

Azsya